<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d9127589673325255643\x26blogName\x3dMegumi+no+Heya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://meguminobu.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://meguminobu.blogspot.com/\x26vt\x3d3972491485340668440', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script> <iframe src="http://www2.blogger.com/navbar.g?targetBlogID1837349476514296927&blogName=eggiines piiggy&publishMode=PUBLISH_MODE_BLOGSPOT&navbarType=SILVER&layoutType=CLASSIC&homepageUrl=http%3A%2F%2Feggiinespiiggy.blogspot.com%2Findex.html&searchRoot=http%3A%2F%2Feggiinespiiggy.blogspot.com%2Fsearch" height="30px" width="100%" marginwidth="0" marginheight="0" scrolling="no" id="navbar-iframe" frameborder="0"></iframe> <div id="space-for-ie">

The Girl

Megumi Nobu .

Tagboard

Cbox .


Profile

Megumi Nobu .
17 May 1986
Ryokushoku o Obita
15
Email : Click Here

Cravings

A Bestfriend
A Loyal Boyfriend
A Real Family
Upgrading my Power

Way Out
Memories

Januari 2010
Maret 2010

Music

Imeem . Music Codes Here :D

♥ 0 Songs Currently Playing ♥

Credits

Designer & Image: Agnes
Base Code: Tammy
Inspirations: Milky
Image Host: Tinypic
Others: Dorischu


Senin, 01 Maret 2010

I ♥ Hello Kitty

THIS LOVE
a fan fiction written by Yuki Aikawa

Disclaimer:
  • Ryokubita (all staffs and members)
  • Megumi Nobu (mine)
  • Tetsuyama Ikuya (Deela)
  • Junichirou Takehara, Kogoro Aoki, Satoru Takeda (NPC)
Rating: 15+

A respond to Deela's FF as Tetsuyama Ikuya : Dilemma


Musim panas, bulan Agustus tahun 2003

Namaku Megumi Nobu. Seharusnya kau sering mendengar namaku karena aku sering muncul di majalah-majalah dan juga iklan-iklan di televisi. Aku adalah seorang model yang sedang populer di Jepang, memiliki cukup banyak penggemar yang mencintaiku dan selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Bahkan, sekalipun kegiatanku kini menjadi sangat terbatas karena aku harus tinggal di asrama sekolah sepanjang tahun, mereka tetap mendukungku dan cukup puas dengan artikel mingguan tentang kehidupanku di sekolah yang diterbitkan di CHIC Magz—majalah fashion yang telah memperpanjang kontrak dengan agensiku selama 2 tahun ke depan terhitung sejak dua hari yang lalu.

Tak satupun dari mereka yang tahu bahwa sekolah tempatku belajar sekarang adalah sekolah yang mengajarkan tentang ilmu sihir. Aku, putri tunggal keluarga Daisuke Nobu ini adalah keturunan dari siluman kucing dan seluruh keluarga besarku adalah penyihir meski hanya dua orang dalam keluargaku yang masih hidup yang mendapatkan warisan kekuatan siluman kucing tersebut—aku dan adik dari nenekku. Sepertinya gen siluman kucing itu hanya turun pada keturunan perempuan saja di keluargaku. Apakah kau takut padaku sekarang? Semoga saja tidak. Aku sendiri cukup senang dengan kenyataan tersebut meski pada awalnya aku sedikit takut dan merasa aneh. Tapi, aku bisa melakukan dua hal yang amat sangat menyenangkan dengan kekuatan yang kudapat dari darah siluman kucing.

Pertama, aku bisa menggerakan barang apapun hanya dengan membayangkannya di otakku—sekarang aku hanya bisa menggerakkan barang-barang yang ringan saja. Kedua, aku bisa menyembuhkan meski sekarang baru mampu menyembuhkan luka goresan kecil dan menghentikan darah. Nenekku bilang, kekuatan itu akan berkembang seiring dengan bertambahnya usiaku. Menyenangkan, bukan?

Ah, cukup tentang perkenalanku. Sekarang aku sedang berada di studio rekaman dan sedang menyanyikan lagu yang akan menjadi salah satu lagu di dalam album single perdanaku. Rencananya, album tersebut akan berisi tiga buah lagu yang telah kutulis selama berada di sekolah. Liburanku kali ini nyaris dihabiskan untuk dipakai bekerja sehingga aku tidak sempat berjalan-jalan. Jadwalku begitu ketat dikarenakan banyaknya permintaan dari rumah produksi dan rumah mode. Untung saja, Takeda-san yang sekarang merangkap menjadi manajerku (bukan hanya sopir pribadi saja) telah mengurus jadwalku sehingga liburan kali ini hanya diisi dengan kegiatan rekaman, serangkaian promosi album single dan pemotretan di beberapa majalah saja. Hebatnya, satu minggu terakhir liburan benar-benar dikosongkan oleh Takeda-san sehingga aku bisa bebas melakukan apa saja!


"Stop, stop! Nobu-san, di bagian refrain coba kau nyanyikan dengan lebih lembut," ujar Kogoro-san dari balik kaca yang memisahkan ruang operator dan ruang kedap suara tempatku berdiri saat ini. Kogoro Aoki adalah seorang produser musik yang telah banyak menelurkan solois dan grup musik nomor satu di Jepang. Aku sangat senang bisa bekerja sama dengan orang sehebat beliau. Meski beliau adalah seorang produser yang amat keras saat bekerja, aku yakin, beliau akan membuat album singleku ini laris di pasaran. Musik aransemennya sangat luar biasa.

"Baik, Kogoro-san," ujarku menganggukkan kepala. Aku melepas sejenak headphone dari kepalaku dan meminum seteguk air putih dalam botol minum Hello Kitty milikku sebelum kembali bernyanyi. Aku melemparkan senyum pada Takeda-san yang berdiri bersandar memperhatikanku dengan tatapannya yang teduh. Meski dia adalah sopir pribadiku dan kini merangkap sebagai manajerku, aku telah mengenal Takeda-san sejak aku berusia 3 tahun. Ia lebih seperti ayah bagiku ketimbang ayah kandungku sendiri dan aku sangat mempercayainya melebihi siapapun di dunia ini.

"Bisa kita mulai, Nobu-san?"

"Tentu."

Aku pun kembali menempelkan headphone ke telinga kananku, membiarkan telinga kiriku tetap terbuka untuk mendengarkan suaraku sendiri lalu membenarkan posisi microphone agar pas di depan bibirku. Tak lama kemudian, musik mengalun dari headphoneku—tanda bahwa aku harus mulai konsentrasi dan meresapi laguku. Lagu yang kutulis untuk Tetsu, seseorang yang kini kucintai namun sayangnya tak bisa kumiliki. Ketika aku membuka mulutku untuk mulai bernyanyi, tiba-tiba saja pintu studio terbuka dan sosok yang melangkah masuk ke ruang operator membuatku terdiam.

Junichirou Takehara, mantan kekasihku yang meninggalkanku begitu saja dengan menikahi perempuan lain, masuk ke dalam ruangan dengan kamera SLR menggantung di lehernya—membuat waktu seolah berhenti untuk beberapa saat bagiku.

Aku bisa melihat Kogoro-san yang marah karena kehadiran Jun-kun yang mengganggu proses rekaman. Aku bisa melihat kata maaf yang berulang kali terlontar dari gerakan bibir Jun-kun yang membungkuk hormat pada Kogoro-san. Tenggorokanku tercekat. Aku tak bisa berkata-kata. Musik kemudian berhenti mengalun dari headphone yang kupegang. Entah apa yang kemudian mereka perbicangkan karena tiba-tiba saja Jun-kun diijinkan masuk ke dalam ruang kedap suara tempatku berada.

"Apa kabar, Megu-chan?" ujar pria brengsek itu menyapaku dengan senyum yang sebelum ini selalu mampu meluluhkan hatiku—seolah dia tidak melakukan satu kesalahanpun padaku.

"Aku baik-baik saja seperti yang kau lihat, Junichirou-san," ujarku ketus. Aku memalingkan wajahku dan menatap Takeda-san—meminta pertolongan agar pria di dekatku ini diusir keluar dari studio. Takeda-san hanya menggelengkan kepala, tak bisa mengabulkan keinginanku. Aku tak punya pilihan selain mengarahkan hazelku kembali pada Jun-kun.

"Junichirou-san, eh? Formal sekali, tidak seperti dirimu yang biasanya." Pria itu melangkah semakin dekat sementara aku melangkah mundur menjauhinya. Cinta yang dulu pernah ada untuknya, kini telah berubah menjadi benci yang teramat sangat.

"Jangan mendekat! Aku tak ingin dekat-dekat denganmu!" Aku menahan langkahnya dengan gerakan tanganku sementara mataku menatap tajam padanya. Aku heran, untuk apa fotografer fashion seperti dirinya datang ke tempat ini—mengganggu proses rekamanku. Aku bisa saja menuntut perbuatan Jun-kun karena telah melanggar etika. "Mau apa kau disini?"

Langkah pria itu pun terhenti meski matanya bergerak menatapku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki—membuatku merasa jijik karena tatapannya seolah menelanku bulat-bulat. Aku tiba-tiba merasa bodoh karena tak pernah menyadari bahwa selama ini Jun-kun sama seperti pria-pria lain yang mendekatiku karena menginginkan tubuhku. Bukan aku menyombong, tapi aku memiliki tubuh tinggi, ramping sekaligus berisi di tempat yang tepat—yang akan membuat seluruh kaum hawa berdecak kagum dan iri.

"Kau semakin cantik, Megu-chan," ujar pria itu tanpa melepaskan tatapannya ke dadaku. Ia kemudian merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan selembar kartu nama lalu menyodorkannya padaku, "Aku bekerja disini sekarang."

Aku meraih kartu nama yang disodorkannya dan membacanya.



HOT ISSUE MAGAZINE

Junichirou Takehara
-----------------------------
Photographer




Sebuah senyum timpang kini terlengkung di wajahku—meremehkan apa yang kubaca. Aku menyerahkan lagi kartu nama itu kembali pada Jun-kun, tak berniat sedikitpun untuk menyimpannya. "Jadi, sekarang kau turun pangkat jadi fotografer majalah gosip?" Sarkasme. Pertanyaan yang berupa sindiran telak untuk seorang Junichirou. Aku tahu bahwa bayaran untuk fotografer majalah gosip jauh di bawah fotografer fashion dan aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada pria di hadapanku sehingga dia bisa beralih profesi seperti itu.

"Mereka bersedia membayarku dua kali lipat jika aku mendapatkan foto eksklusifmu," Jun-kun menatapku sambil tersenyum licik. Ia perlahan melangkah kembali ke arahku tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan yang akan membuat Takeda-san menerobos masuk dan menghajar dirinya. "Aku akan mengambil foto terbaikmu jika kau bersedia pergi bersamaku setelah rekamanmu ini selesai," pria itu mengedipkan matanya dengan genit, tanpa malu menatap lapar ke arah dadaku sebelum ia menatap mataku.

"Jangan harap kau akan mendapatkan selembarpun fotoku di tempat ini ataupun di tempat lain!" Aku bisa merasakan amarah mulai menggelegak di hatiku. Dengan suasana hati seperti ini, aku tak mungkin bisa meneruskan prosedur rekaman. Aku melangkah melewati Jun-kun, hendak keluar dari ruang kedap suara itu dan meminta Takeda-san mengusir Jun-kun keluar. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Jun-kun mengangkat kamera ke depan wajahnya—hendak memotret diriku yang sedang diselimuti emosi. Aku segera membalikkan badan dan berdiri menghadapinya, tanganku bergerak mendorong kameranya ke bawah sebelum pria itu sempat menekan tombol apapun disana lalu dengan cepat kutampar dia dengan tanganku yang lain.

"LELAKI BRENGSEK!! Keluar kau dari sini!!"

"Seorang model kelas atas sekaligus calon penyanyi, memaki dan menampar wartawan yang hendak memotretnya baik-baik di studio rekaman," Jun-kun menyeringai mengerikan sembari mengusap pipinya yang baru saja kutampar, "Bagaimana jika judul tersebut terpampang di sampul majalah Hot Issue minggu depan, Megu-chan? Kedengarannya akan mengundang banyak kontroversi yang merugikan dirimu."

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku, menahan amarah yang memuncak. Aku tidak tahu bahwa Jun-kun akan berubah menjadi begitu menyebalkan seperti ini. Begitu licik. "Beraninya kau..."

"Atau, perlukah kubeberkan hubungan kita, Megu-chan?"

"Lakukan saja dan kau akan kehilangan nyawamu."

Sebuah suara yang hangat sekaligus bernada mengancam terdengar di belakangku. Takeda-san rupanya menyadari ada yang tidak beres antara aku dan Jun-kun sehingga ia memberanikan diri masuk ke ruang kedap suara ini. Aku segera melangkah mundur menghampiri Takeda-san dan menggenggam lengannya erat. Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajah Jun-kun yang tadi begitu licik kini tampak seperti penjilat yang memohon-mohon pengampunan. Aku tahu, Takeda-san saat ini pasti sedang menatapnya tajam, penuh intimidasi.

"Aku hanya becanda, Takeda-san. Tak perlu mengancam begitu," ujar Jun-kun terkekeh memalukan.

"Cepat pergi dari sini," Suara Takeda-san terdengar sangat dingin. Aku sendiri pun merasa takut mendengarnya, "Jika berita buruk tentang Nona Megumi muncul di majalah mana pun, kau yang akan menanggung akibatnya. Jangan pernah lupa kekuasaan keluarga Nobu di negara ini."

Dan pria brengsek itu pun berlari terbirit-birit keluar dari studio setelah dilempari kotak speaker oleh Kogoro-san. Singkatnya, setelah itu aku dipersilakan untuk pulang dan beristirahat. Rekaman akan dilanjutkan esok hari.

*****

"Anda tidak apa-apa, Nona?" Takeda-san bertanya sembari mengemudikan Lexus merah tua milikku; hendak mengantarku pulang ke rumah.

"Tidak. Aku tidak apa-apa," ujarku lemah. Aku berbohong. Aku sakit hati dan merasa sangat bodoh sekarang tapi aku tidak ingin mengatakannya pada Takeda-san. "Bisa antar aku ke kedai kopi langgananku, Takeda-san?"

"Tentu saja, Nona."

Sementara Takeda-san membelokkan mobil ke arah kedai kopi yang kumaksud, aku menyandarkan punggung dan kepalaku ke sandaran jok mobil. Kupejamkan mataku—berusaha mengusir kemarahan yang masih menguasai diriku. Aku ingin sekali menangis tapi aku menahannya. Jika aku menangis, maka aku kalah dengan diriku sendiri. Aku harus kuat.

"Sudah sampai, Nona."

Kubuka mataku perlahan dan kutegakkan tubuhku, "Terimakasih, Takeda-san. Tak usah menungguku. Aku bisa pulang sendiri."

*****

Kulangkahkan kakiku yang ramping memasuki kedai kopi dengan nuansa tradisional itu. Bau kayu yang lembut samar-samar terhirup saat aku bernafas—aku menyukainya. Aku sadar, orang-orang yang ada dalam kedai tersebut memperhatikan kehadiranku dan aku bersyukur mereka tidak menghampiriku untuk berfoto bersama atau untuk sekedar meminta tanda tangan dariku—karena saat itu aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk meladeni mereka. Jadi, aku tetap berjalan sembari melemparkan senyum pada mereka yang menyapaku; mengarahkan langkahku menuju ke sebuah meja yang berada di pojok kanan—tempat favoritku di kedai ini.

Dan aku melihat Reichi Shibasaki berjalan melewatiku begitu saja—tidak menyadari keberadaanku di tempat ini. Nampaknya kacamata yang ia pergunakan perlu diganti ukuran minusnya. Becanda.

Entah bagaimana, aku merasa bahwa Tetsu ada disana. Jadi, aku meneruskan langkahku dan sesuai dugaanku, aku menemukan Tetsu sedang duduk di meja favoritku dengan kepala tertunduk.

"Iku... Tetsu? Sedang apa disini?" ujarku menyapanya. Terdengar bodoh memang. Kedai kopi adalah tempat umum dan aku melontarkan pertanyaan seolah-olah Tetsu sedang bermain ke rumahku. Anak lelaki itu kemudian mengangkat wajahnya menatapku—dan ia tidak menjawab. Kuputuskan untuk bertanya sekali lagi padanya, "Sedang apa disini?" Kini tatapan anak lelaki itu berubah sinis padaku.

"Tidak sedang apa-apa." Akhirnya Tetsu berujar dengan nada ketus. Aku tahu dia sedang berbohong. Tetsu yang kukenal bukanlah seorang anak lelaki yang bersikap dingin pada kaum hawa. Dia selalu memperlakukan mereka dengan baik—termasuk aku yang jadi jatuh hati padanya. Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekat.

"Kalau begitu, boleh aku duduk di sebelahmu?"

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku menghempaskan tubuhku ke bantal duduk yang ada di sebelah kanan Tetsu dan menatapnya canggung. Aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan sekarang. Selama ini aku selalu menatapnya dari kejauhan, memperhatikan semua yang dia lakukan tanpa memberanikan diri untuk mendekat setelah kejadian ciuman di ruang klub ikebana. Bahkan aku telah mengucapkan selamat tinggal padanya. Lantas, kenapa aku sekarang malah duduk di sampingnya—aku sendiri tak mengerti apa mauku.

Yang aku tahu, aku tidak ingin sendirian saat ini dan aku ingin berada di dekatnya setelah pertemuanku dengan Jun-kun yang mengesalkan.

Aku terdiam di sampingnya sementara dia membuang muka dan menatap ke jendela—ke luar kedai. Kesunyian yang kemudian terjadi membuatku merasa tak nyaman dan keegoisanku pun keluar.

"Kau ini kenapa sih?"

Tetsu menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan kesal lalu mengacuhkan aku. Tatapannya yang menerawang membuat hatiku terasa diiris karena aku yakin, Tetsu sedang memikirkan kekasihnya saat ini. Mungkin mereka sedang bertengkar sehingga tingkah laku Tetsu jadi janggal. Atau, dia masih marah padaku karena pernah menciumnya. Apakah kau membenciku?

Aku memainkan rambutku dengan jemari—salah tingkah karena Tetsu mendiamkan aku. Sesekali aku menatapnya lalu aku kembali menundukkan kepala. Takut untuk mengeluarkan suara karena aura Tetsu terasa mengancam.

Tapi aku tidak tahan didiamkan seperti itu terus-menerus.

"Apa kau masih marah soal ciuman waktu itu?" Akhirnya aku bertanya. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku begitu takut dibenci oleh anak lelaki di sampingku itu.

Dan dia akhirnya menolehkan kepalanya menatapku—memandangku begitu lama sehingga aku merasa raga dan jiwaku ditembus oleh tatapan matanya. Aku merasa tatapannya melembut sehingga wajahku mulai memerah. Dengan gugup, kubasahi bibirku dan menggigitnya pelan. Hazelku terpaku menatap bola matanya yang sehitam arang. Aku terhisap ke dalamnya.

"Kenapa? Kau suka, eh?" Dia tersenyum dan mengulangi pertanyaannya, "Kau suka?" Tiga kali Tetsu mengulang pertanyaan yang sama seolah ia tak puas sebelum aku menjawab ya. Tentu saja aku menyukainya. Aku pun mengangguk pelan dan bisa kulihat senyum menggoda kini terlengkung di wajahnya. Apa yang terjadi kemudian sungguh tak bisa kupercaya. Tetsu mengangkat tangan kirinya dan membelai wajahku, membuatku menatapnya hangat dan tersenyum tipis. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan senang yang kurasakan.

Tetsu mengamati lekuk wajahku dan tersenyum nakal—mengakhiri gerakan bola matanya di bibirku yang semerah delima. Ia kemudian mendorongku hingga aku terpaksa menyandarkan tubuhku pada dinding kayu di belakangku. Nafasku memburu. Antara takut dan senang—bercampur aduk jadi satu. Aku hanya bisa terdiam dan menatapnya ketika wajah dengan gurat kasar itu mendekat sehingga hidung kami saling bersentuhan. Jantungku berdebar keras ketika bola mata kami saling menatap—aku tersenyum, menyukai apa yang sedang terjadi di antara kami berdua.

Tetsu kembali membelai wajahku untuk kesekian kalinya dan aku bisa merasakan tangan kanannya yang bebas mulai menyentuh tubuhku. Ia mengusapkan telapak tangannya yang besar di perutku—membuatku bergerak mundur karena rasa geli yang tiba-tiba muncul. Kudorong perlahan tangannya dengan tanganku—namun tangannya tetap bersikeras meraba tubuhku. Aku merasa kehilangan tenaga dan berhenti melawan—membiarkan tangannya menyentuhku dan menyelusup meraba punggungku.

Aku menikmati setiap sentuhan tangannya namun aku tak bisa berhenti bertanya, "Tetsu, kau kenapa?"

"Apa yang kau mau?"

Aku ingin dirimu seutuhnya.

"Ciuman?"

Bisa kurasakan wajahku semakin memerah dan ketika aku hendak mengucapkan penolakan, Tetsu membungkamku dengan bibirnya. Untuk kedua kalinya bibir kami bertemu. Mataku terbelalak karena keterkejutan yang kurasakan—tak pernah kuduga seorang Tetsuyama Ikuya bisa melakukan sesuatu seperti yang tengah ia lakukan padaku sekarang. Ia mendominasi diriku, membuatku hanya bisa terdiam dan menikmati setiap permainannya. Tak peduli apapun alasan yang membuatnya seperti itu.

Tubuhku sempat memberontak sesaat namun kembali terdiam. Tetsu tidak melepaskan bibirnya dari bibirku—ia melumat bibirku yang tipis dengan penuh gairah. Bibirnya yang basah dan lembut menghipnotis kesadaranku—aku mulai membalas apa yang ia lakukan. Aku mendengar suara erangan lembut keluar dari bibirku ketika kurasakan tangan Tetsu mulai melancarkan aksinya di tubuhku. Menyentuh tubuhku, membuat tubuhku bergerak-gerak gelisah—aku mendesah pelan. Lupa bahwa kami berdua sedang berada di tempat umum dan mungkin saja ada yang melihat perbuatan kami dari jendela.

Aku tak peduli. Fokusku saat ini hanya Tetsu.

Dengan sangat perlahan, kututup kelopak mataku dan kuangkat kedua tanganku ke atas pundaknya. Jemariku bergerak menyusuri pundaknya, lehernya, telinganya lalu rambutnya. Kuremas pelan rambut di bagian belakang kepalanya, menariknya pelan sehingga bibir kami semakin melekat, saling berpagutan. Kulingkarkan tanganku di lehernya—memeluk tubuhnya. Kunikmati waktu-waktu dimana ia hanya untukku karena jauh di dalam hatiku, aku tahu bahwa hal seperti ini mungkin takkan datang lagi untuk yang kedua kali.

Tetsu pun membalas pelukanku—mendekatkan tubuhnya dengan tubuhku. Hangat—sekaligus mengancam.

"Tetsu?"

Dan detik itu aku tahu, waktu yang diberikan padaku telah usai. Tetsu menatapku terkejut dan ia melepaskan pelukanku—bergerak mundur perlahan menjauhiku dengan mata tetap menatap lurus ke mataku.

"Tetsu?"

Ia ternganga dan semakin menjauhiku. Aku menyadari satu kenyataan pahit. Ia memelukku dan menciumku dengan bayang-bayang kekasihnya di dalam pikirannya. Bukan aku. Seharusnya aku sudah siap menerima kenyataan itu tapi aku tak bisa menyembunyikan perasaan kecewa itu dari mataku.

"Maaf—"

"Kenapa? Kenapa kau meminta maaf?"

Pertanyaan yang telah kuketahui jawabannya.

“Aku—aku kira kau adalah Naoko.”

Aku sudah menduganya. Namun, mendengarnya langsung dari bibir Tetsu rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan. Aku terdiam—berusaha menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mataku.

“Maaf”

Aku menggelengkan kepala perlahan, memaksa diriku untuk tersenyum padanya.

“Kau tidak—marah?”

Mana mungkin aku bisa marah padamu?

“Aku—aku tak keberatan, Tetsu.” Aku terdiam sejenak. Hazelku tetap menatapnya lekat, kugigit bibirku agar isak tangis tidak keluar dari bibirku, "Sudah kubilang bukan bahwa aku menyukaimu?” Suaraku mulai bergetar. Kutarik nafas dalam-dalam dan kutegakkan tubuhku. Kurapikan pakaianku dan juga rambutku, “Aku tak keberatan, karena aku benar-benar menyukaimu.”

Kupaksakan diriku sekali lagi untuk tersenyum—pahit.

“Aku—yah, aku tahu bahwa hari ini aku tak hanya melukai perasaanmu seorang…”

Aku mendengarkan. Sekalipun aku tak ingin mengetahuinya. Aku ingin segera pergi dari sana tapi kakiku seolah diikat oleh rantai yang tak terlihat sehingga aku bergeming. Aku malah menatap wajahnya yang mengeras karena kepedihan.

“…Kami—aku dan Nao sudah putus—dan aku tak mengerti letak kesalahanku. Aku tak bisa menciumnya, aku tak berani—“

Putus?

“Kenapa? Kenapa kau tak menciumnya? Lalu kenapa kau berani menciumku?”

Tuhan, bolehkah aku berharap?

Tetsu menggelengkan kepalanya. Membuat harapan yang ada di hatiku meluap-luap.

“Apakah itu berarti selama ini kau tak menyukai Ikeuchi-san?”

Mata Tetsu terbelalak menatapku seolah tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. Apakah pertanyaanku menusuk tepat pada sasaran? Jika benar begitu, apakah yang Tetsu sukai sebenarnya adalah—

“Aku menyukainya—bukannya aku tak mau menciumnya, tetapi semua itu karena aku mau menjaganya.”

Dan harapan itu gugur secepat mekarnya.

“Aku tahu aku salah—tapi bukankah ada cara lain selain berciuman? Maksudku, aku menunjukkan rasa sukaku dengan cara lain, yaitu menjaganya—menjaganya sebagaimana seorang gadis pada umumnya. Aku tak mau membuatnya terlu—”

PLAK!

Untuk kedua kalinya hari itu, aku menampar orang. Dengan alasan yang berbeda. Aku menampar Tetsu karena aku tak ingin mendengar lebih banyak tentang perasaannya pada kekasihnya. Aku tersenyum pahit ketika satu kesadaran mulai terbentuk di otakku.

“Kau tahu? Caramu mencintai itu salah.” Aku diam—memberikan jeda untukku sendiri. Aku memiliki kesempatan untuk merebut Tetsu saat ini dan aku juga memiliki kesempatan untuk membuat hubungan Tetsu dan kekasihnya membaik. Yang mana yang harus kupilih?

Pilihan pertama begitu menggiurkan sementara pilihan yang lain hanya akan membuatku kehilangan Tetsu untuk selamanya. Pilihan pertama akan membahagiakan diriku sendiri sedangkan pilihan kedua akan membahagiakan Tetsu.

Yang mana yang harus kupilih? Kebahagiaanku atau kebahagiaannya?

“Kalau kau terus begitu maka kau akan kehilangan dia—selamanya”

Aku menghela nafas dan bangkit berdiri—pilihan itu telah terputuskan. Aku menginginkan kebahagiaan Tetsu melebihi kebahagiaanku sendiri.

“Kau harus berbuat sesuatu untuk membuatnya yakin bahwa kau menyukainya—seperti yang aku lakukan padamu…”

Satu nasehat yang akan mengubah semuanya. Aku tersenyum tipis pada Tetsu lalu membalikkan badanku—mengucapkan selamat tinggal sekali lagi dalam hati dan aku mulai melangkah meninggalkan sosok yang begitu kucintai. Aku berlari ketika keinginan kuat menggodaku untuk menoleh ke belakang—menatap dia yang takkan pernah menjadi milikku—keluar dari kedai kopi yang mungkin takkan pernah kupijak lagi setelah kejadian ini.

Selamat tinggal, Tetsuyama Ikuya. Hanya ini yang bisa kuberikan sebagai bukti dari cintaku. Berbahagialah, maka rasa perih yang sekarang kurasakan akan terbayar lunas.

Label:


Been Here @ 23.17


Senin, 25 Januari 2010

I ♥ Hello Kitty

Megumi sedang kesal. Dan itu artinya orang-orang yang berada di dekatnya diharap untuk berhati-hati karena bisa saja terkena dampratannya. Gadis belia itu kesal karena permintaannya untuk membawa seorang pelayan ke Ryokubita tidak direstui oleh Takeda-san; yang tentunya diperintahkan oleh nenek perawan kita tercinta yang berkubang di kuil entah dimana. Persetan.

Gadis belia itu tak bisa membayangkan dirinya harus mengurusi semua keperluannya sendiri di Ryokubita nanti. Membeli buku pelajaran saja dia sampai harus bertengkar dengan pegawai tokonya karena dia tak bisa mengambil sendiri. Bagaimana nanti di Ryokubita? Bukankah tinggal sendiri itu berarti masak sendiri, mencuci sendiri, menyetrika dan melipat baju sendiri? Demi Susanno yang tampan, sejak kapan seorang Megumi Nobu melakukan semua itu tanpa dibantu oleh pelayan? Rasanya, dia ingin menangis saja.

Meskipun Takeda-san sekarang membawakan semua barang-barangnya sampai ke dalam gerbong kereta, tetap saja setelah ini Takeda-san akan pergi dan dia lagi-lagi sendiri. Dia tahu bahwa uangnya takkan banyak berguna saat di Ryokubita nanti; dia sudah mendengar dari Takeda-san bahwa di Ryokubita tidak ada pusat perbelanjaan, tak ada televisi dan tidak ada kemewahan seperti yang selalu dikecapnya selama ini.

Satu tahun penuh akan dia lewati tanpa shopping di butik-butik terkenal, tanpa berpesta dengan teman-teman modelnya, tanpa fans-fans yang mengerubutinya dan tanpa pakaian-pakaian ber-merk yang tentunya akan terlihat mencolok jika dia pakai di Ryokubita. Neraka. Bayangan-bayangan tentang tempat itu bisa disamakan dengan neraka bagi Megumi. Satu-satunya hal yang membuat gadis belia itu bersyukur akan kepergiannya ke Ryokubita adalah kenyataan bahwa dia tak perlu lagi bertemu muka dengan Jun-kun.

Untung saja agensinya pada akhirnya bisa memberikan toleransi atas kepergian model andalannya. Tentu dengan syarat Megumi harus mengirimkan foto-foto selama dia di Ryokubita setiap minggunya dan meng-update kisah kehidupannya bersekolah pada agensi—untuk dijual pada media, tentu saja. Untuk itu, Takeda-san membawakannya sebuah notebook yang bisa tersambung ke internet.

Megu memperhatikan Takeda-san yang sibuk membereskan barangnya di dalam gerbong lalu mengamati saat pria itu berpamitan dan kemudian pergi meninggalkannya tanpa sedikitpun membuka mulut. Dia tahu saat ini merengek pun takkan ada gunanya. Gadis belia itu sedang tidak dalam mood baik untuk bertegur sapa. Jadi, maaf saja apabila dia tidak mempedulikan siapapun yang ada di dalam gerbong itu. Dengan gestur gusar, Megu membanting bokongnya ke atas kursi empuk di dekat jendela. Kedua hazelnya menatap keluar jendela—tatapannya kosong. Dia mendengus pelan. Mencoba menahan airmata yang menggantung di sudut matanya.

Jangan ganggu dia jika kau tak ingin terkena semprotannya.




"Aku tak mau meninggalkan pekerjaanku! Pokoknya tidak!"
"Ini tanggungjawab yang harus kau emban, Megumi. Kau sudah ditakdirkan untuk meneruskan darah penyihir di keluarga Nobu."
"Tanggungjawab yang bahkan aku sendiri tidak menginginkannya?! Omong kosong!"
"Takdirmu yang memilih dan kau pun harus mengakui bahwa kau menyukai kekuatan yang kau miliki. Benar?"
"..."
"Pergilah dan kau akan mengerti bahwa kebahagiaan itu tidak hanya berasal dari harta dan kemewahan."
"Baiklah, Nek."


Hazelnya masih menerawang ke luar jendela saat Ryokubita Shinkansen mulai bergerak membawa seluruh murid menuju Stasiun Hakamadote. Tatapannya bersirobok dengan langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, hanya saja benaknya tidak sungguh-sungguh ada disana. Gadis belia itu teringat kata-kata nenek dari pihak keluarga ayahnya ketika menceramahi dirinya tentang tanggungjawab dan warisan darah siluman di tubuhnya selama berjam-jam. Ceramah yang mungkin hanya akan dikiranya sebagai dongeng khayalan si nenek tua jika saja dia tidak menyadari bahwa dia memang memiliki kekuatan aneh.

Yume mitai.*

Ia meremas kedua tangannya sendiri; merasa takut akan kekuatan aneh yang ia miliki. Meski ia sudah mulai mampu mengontrol kekuatannya, tetap saja ia merasa takut akan masa depan yang menantinya. Ia yang selama ini bermimpi menjadi supermodel terkenal, tak pernah bersentuhan dengan hal-hal ajaib—tiba-tiba saja disodori kenyataan baru dengan paksa. Bahwa seorang Megumi Nobu tak hanya merupakan pewaris tunggal harta grup Nobu tetapi juga pewaris kedua dari darah siluman yang mengalir dalam keluarganya. Bahwa seorang Megumi Nobu harus mengemban tanggung jawab dan tugas penting demi kelangsungan keluarga Nobu.

Persetan dengan itu semua. Megumi sama sekali tidak mengerti mengapa harus dirinya yang terpilih. Dan apa hubungannya sihir dengan kelangsungan keluarganya?

Nenek tua itu bilang bahwa ia adalah gadis beruntung, begitu pun dengan Takeda-san. Kedua orangtuanya tak berkomentar apa-apa selain dua kata 'oh, ya' saat ia menghubungi mereka. Mereka semua tak mempedulikan pendapat Megumi sebagai korban kesemena-menaan status darah keluarganya.

Zurui.**

Lamunannya buyar ketika sebuah suara tenor khas lelaki menggema di telinganya. Hazelnya bergulir menatap si penyapa yang ternyata adalah Ikuya, lelaki menyebalkan yang dikenalnya saat di toko es krim.

"Sini, kita ngobrol sedikit bersama-sama, mau?"

Ya, lelaki itu menyebalkan karena tetap bersikap baik padanya bahkan setelah diperlakukan dengan tidak menyenangkan. Saat itulah gadis belia itu menyadari bahwa Hiro pun ada disana. Mereka berdua teman dekat sepertinya. Ia melemparkan senyuman tipis pada mereka berdua dan menggeleng singkat.

"Aku sedang tak ingin ngobrol." Maaf.

Label:


Been Here @ 05.46


Kamis, 21 Januari 2010

I ♥ Hello Kitty

Da Favola.

Fairytale.

Omong kosong yang kini menjadi nyata.

Setidaknya pada kehidupan seorang Megumi Nobu, putri tunggal sekaligus pewaris grup Nobu—penguasa hotel-hotel berbintang lima yang tersebar di seluruh belahan dunia. Kehidupan yang selama ini dipenuhi oleh kemilau dunia selebriti, kepopuleran dan harta—kini tiba-tiba berubah drastis dengan kehadiran sesuatu bernama sihir.

Gadis belia itu melangkah berayun dengan anggun, tungkainya yang terbalut boots Jimmy Choo hitam terbaru bergantian bergerak maju dengan teratur—terbiasa melangkah di atas catwalk. Tubuh rampingnya terbalut mini dress putih yang menonjolkan warna kulit dan surai pirangnya. Gadis belia itu tak menghiraukan pandangan kagum orang-orang yang dia lalui, terus melangkah sambil sesekali menyuapkan sesendok es krim vanilla ke dalam mulutnya.

Beberapa hari telah terlewati sejak dia menerima buntalan hijau kumal dari Jun-kun berekor, sejak dia mendengar kenyataan tentang latar belakang dan status darah keluarganya. Dia, Megumi Nobu, seorang model yang tengah berada di puncak karirnya, ternyata memiliki warisan darah siluman. Keturunan kedua dalam keluarga Nobu katanya. Sulit bagi gadis belia itu untuk menerima kenyataan tersebut, tapi lebih sulit lagi untuk menyangkalnya.

Kekuatan yang ada dalam dirinya memperjelas segalanya. Dia memang bukan manusia biasa. Dengan ekor matanya, gadis itu melirik sebongkah batu kecil dan mengulurkan tangannya. Dengan sedikit perintah yang dikirim oleh otaknya; batu kecil itu melayang dan mendarat tepat di atas telapak tangannya. Jika kenyataan sudah seperti itu, bagaimana mungkin seorang Megumi Nobu bisa menyangkal?

Peduli setan dengan perintah dari Nenek perawan tua penjaga kuil itu. Berkoar-koar soal meneruskan darah penyihir dalam keluarga. Gadis itu tak peduli. Alasan utamanya berada disini adalah Jun-kun. Pria jahanam yang telah menipu dirinya selama lebih dari setahun dan meninggalkannya begitu saja—menikah dengan perempuan lain setelah mendapatkan segalanya dari gadis itu.

Langkahnya terhenti—kristal hazelnya terpaku pada satu sosok adam yang tengah bermain-main dengan koin dan punggung tangannya. Dilihatnya dua sosok lain kemudian menghampiri dan berinteraksi dengan sang adam. Seolah ada sesuatu yang mendorongnya, kedua tungkai gadis belia itu mulai melangkah menghampiri. Pertama kali sejak kedatangannya di Senshu, dia menghampiri orang lain—

—dan menyapa.

"Kalian," ujarnya datar, "sedang apa?"




"Melihat langit," jawab sang adam singkat setelah sebelumnya menegur seseorang yang berniat mengejutkan dari belakang. Dia hanya menaikkan sebelah alis saat melihat kejadian tersebut; bukan pada sang adam tapi pada bocah usil itu. Jenis manusia kurang kerjaan yang hobinya hanya membuat keributan dan mengganggu ketenangan orang lain. Biasanya, manusia macam itu berisik tapi tak punya otak. Megu mendengus pelan. Dia melemparkan tatapan sekilas pada entitas-entitas lain yang ada disana. Tersenyum samar; basa-basi.

"Mengagetkan kakak itu, tapi dia tidak seru!"


Yah, kau dimaafkan karena masih kecil. Sudah pernah bilang bahwa Megu menyukai anak-anak? Dia ingin punya adik dan selama ini kedua orangtuanya tidak mengindahkan keinginan Megu karena kesibukan mereka. Garis wajahnya melunak sekarang, memberi tepukan samar di kepala si bocah kecil dan memberikan senyum hangat padanya. "Karena yang kamu lakukan barusan itu tidak sopan," ujarnya menasehati sambil menggerak-gerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan.

Gadis belia itu kembali menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya lalu melangkah perlahan mendekati sang adam yang belum dia ketahui namanya. Entah mengapa, gadis belia itu tertarik lalu menghempaskan bokongnya di atas rumput; menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang kokoh tepat di samping sang adam—membelakangi si bocah. Dengan lembut gadis belia itu mendongakkan kepala dan membiarkan kristal hazelnya bersirobok dengan birunya langit Senshu. Langit yang benar-benar biru; berbeda dengan langit kota Tokyo yang sudah ternoda dengan polusi.

Apakah Jun-kun sekarang sedang menatap langit yang sama?


Bodoh. Untuk apa dia lagi-lagi mengingat pria tak tahu diuntung itu. Belum cukupkah pengkhianatan yang telah dilakukannya pada Megu sehingga gadis belia itu masih saja teringat pada sosoknya? Atau mungkin, kerinduan itu adalah sebuah bukti bahwa dirinya selama ini memang kesepian dan hanya Jun-kun satu-satunya orang yang mampu mengisi kekosongan dalam dirinya.

Ah, sudahlah. Persetan dengan Jun-kun. Persetan dengan rasa sepi.


Gadis belia itu mendengarkan satu persatu entitas di sekitarnya memperkenalkan diri. Satu demi satu nama disebutkan. Hotaru Amano, Adriano Constanza dan Tsuzuki Sawada. Kali ini gilirannya?

"Aku, Megumi Nobu," ujarnya kemudian memperkenalkan diri. Sesekali tidak bersikap ketus rasanya tidak buruk juga. Mungkin.

"Jadi," Megu menolehkan kepalanya menatap sang adam yang telah diketahuinya bernama Adriano—asing, "Apa yang kau lihat di langit? Atau, kau sedang memikirkan sesuatu?"




Es krim dan anak kecil. Ah, tepatnya es krim dan Tsuzu-chan mungkin. Dua hal yang saat ini membuat seorang Megumi Nobu yang biasanya ketus menjadi lebih lunak. Semoga saja tak ada hal yang tiba-tiba membuat mood santainya sekarang menghilang. Gadis belia itu menganggukkan kepala pada si bocah kecil sebagai jawaban atas pertanyaannya lalu memalingkan kembali wajahnya—kali ini menatap ke langit.

"Yang kulihat—ya langit. Awan, mungkin," jawab Constanza datar, masih memainkan koin di tangannya. "Memikirkan sesuatu? Mungkin."

Dia terdiam ketika jawaban mengalir dari bibir Constanza yang duduk di sampingnya. Kedua kristal hazelnya masih terpaku pada hamparan biru sang langit. Tahukah kau mengapa manusia seringkali menatap langit dan terdiam saat hati mereka dipenuhi dengan beban yang tak mampu terucapkan? Adakah seseorang yang tahu jawaban dari misteri tersebut? Bahkan Megu sendiri seringkali menatap ke langit setiap kali sesuatu yang tak menyenangkan terjadi dalam kehidupannya—atau saat merindukan seseorang seperti saat ini.

Dan entah bagaimana, langit dan awan-awan yang bergerak lambat selalu mengalirkan rasa nyaman yang melegakan hatinya.

Satu tahun yang lalu dia mengenal Jun-kun saat pemotretan pertamanya sebagai model untuk cover CHIC Magz. Pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya; berprofesi sebagai fotografer utama di majalah tersebut. Jun-kun yang selalu menghiburnya saat dia kesal ataupun sedih, Jun-kun yang selalu menemaninya saat dia sedang ingin bersenang-senang. Tak peduli meski kedua orangtuanya nyaris tak pernah pulang ke rumah karena kesibukan mereka; karena Jun-kun selalu ada di dekatnya. Bahkan saat Asuka mengkhianati persahabatan mereka dan mengakui bahwa dia hanya memanfaatkan kekayaan Megu; Jun-kun ada disana menghiburnya.

Dan beberapa hari yang lalu; tiba-tiba saja saat pemotretan dia mendapat kabar bahwa Jun-kun akan menikah dari fotografer penggantinya. Menikah. Bukan dengan Megu. Dan Jun-kun sama sekali tidak memberi kabar padanya atau setidaknya memutuskan hubungan mereka. Telepon dan SMS yang dia kirimkan tak satupun yang berbalas. Jun-kun seolah lenyap dari muka bumi, meninggalkan tuan putri Nobu kembali seorang diri.

Heu—gadis belia itu mendesah ketika semilir angin mempermainkan surai keemasannya. Hatinya sakit bila mengingat bahwa dia dibuang begitu saja oleh Jun-kun yang begitu dicintainya; merasa bodoh karena telah memberikan semua yang diminta oleh pria itu. Naif mungkin. Tak menyadari bahwa dirinya mungkin tengah dimanfaatkan habis-habisan oleh seorang fotografer muda.

Jadi, apa sesungguhnya yang dia cari di langit? Jun-kun tak mungkin ada disana.

Jemarinya bermain-main mengitari lingkaran gelas es krimnya; membiarkan sisa es krimnya mencair. Menoleh sejenak pada seorang gadis yang menyebut namanya sebagai Lotusia—menatap datar dan mengangguk samar, lalu berbalik kembali menatap ke langit.

"Langit seringkali membuat manusia jadi cengeng, Constanza," ujarnya pada Constanza—nada sinis terdengar samar dalam intonasi suaranya kemudian, "Setidaknya bagiku."

Segaris senyum miris melengkung di wajahnya.

"Tsuzu-chan," panggilnya lembut, "apa pendapatmu tentang langit?"

Label:


Been Here @ 05.15


Rabu, 20 Januari 2010

I ♥ Hello Kitty

[ICHIGO ICE CREAM WITH TETSU DKK]


Sekali lagi dia berdiri di depan surga kue dan es krim favoritnya. Satu-satunya tempat yang menyediakan sesuatu yang bisa membuat hati beku tuan putri Nobu itu terasa sedikit menghangat. Iris hazelnya menatap sendu ke arah sekumpulan anak yang tengah berbincang seru; sedikit merasa iri jauh di dalam hati kecilnya. Dia sudah terbiasa sendiri, berteman hanya semata-mata demi sesuatu yang menguntungkan. Bagi seorang Megumi, sahabat sama dengan sampah.

Pernah satu kali dia menganggap seseorang sebagai sahabat, sebutlah dia sebagai nona A. Nona A adalah rekan sesama model di agensi yang sama. Mereka berkenalan tepat saat hari pertama Megu bergabung. Nona A adalah seorang gadis yang manis dan ramah, membuat Megu dengan mudah bisa mempercayai gadis itu. Hampir setiap hari dia dan Nona A bersama; tak jarang Megu menggesekkan kartu kreditnya untuk menyenangkan Nona A. Namun, suatu hari dia tak sengaja mendengar Nona A tengah berbicara dengan seorang gadis model lain; tertawa-tawa dengan keras. Tahu apa yang dibicarakan Nona A?

"Megumi itu kaya raya, cantik tapi dia tolol. Lihat sudah berapa banyak uang dia habiskan untuk membeliku menjadi sahabatnya. Hahaha. Nona kaya yang kesepian memang mudah sekali diperalat. Kalau dia tidak kaya, siapa juga yang mau berteman dengan perempuan seangkuh dia."

Yeah, orang-orang mendekatinya hanya karena dia bergelimang harta dan kepopuleran. Itu untuk perempuan. Sedangkan yang laki-laki mendekatinya semata-mata hanya karena nafsu—ingin membanggakan diri berjalan di samping seorang putri pewaris grup Nobu dan yang lebih parah, mereka hanya mengincar kemolekan tubuhnya. Lihat saja bagaimana seorang Junichirou meninggalkannya begitu saja setelah satu tahun memanjakan dirinya. Megu telah memberikan segalanya pada pria itu dan balasannya?

Pria itu tiba-tiba memberi kabar bahwa dia akan menikah dengan perempuan lain. Meninggalkannya begitu saja. Mempermainkan seorang gadis belia yang begitu bodoh untuk percaya sepenuh hati pada seorang pria yang jauh lebih tua darinya. Pathetic.

Itulah yang membuat seorang Megumi Nobu nekat meninggalkan karir modellingnya yang tengah berada di puncak dan menerima undangan untuk masuk ke Akademi Ryokubita. Menjauh dari dunia modelling, menjauh dari Jun-kun—tanpa berpikir lebih jauh bahwa dia juga harus meninggalkan kehidupan glamournya.

Sudahlah, kenyataannya dia kini sudah berada di dunia sihir. Dia sudah mengetahui latar belakang keluarganya dan mengetahui kekuatan tersembunyi yang ada pada dirinya. Dan dia ingin tahu lebih banyak lagi. Mungkin benar apa yang dikatakan Takeda-san bahwa dia membutuhkan suasana baru—untuk mencairkan hatinya yang beku? Entahlah. Sikap seseorang tak bisa begitu saja berubah, bukan?

Gadis belia itu menghela nafas, memperhatikan daun-daun pepohonan mengayun dan bergemerisik kala bersapaan dengan angin. Iris hazelnya kemudian bergulir, mendapati sosok seorang bocah kecil yang telah beberapa kali ditemuinya tengah bercengkrama bersama teman-temannya di dalam. Seulas senyum terbingkai begitu saja di wajah cantiknya.

Ingin kesana? Demikian hati kecilnya bertanya.

Tidak.

Dengan langkah anggun, gadis belia itu masuk ke dalam toko—menghampiri konter. "Aku ingin ice cream cake dan segelas royal milk tea, please."

Dia pun kemudian membawa pesanannya menuju sebuah meja tepat di sebelah meja dimana bocah kecil bernama Hiro itu berada. Duduk diam sambil menikmati ice cream cake miliknya dan mendengarkan perbincangan yang terjadi di meja sebelahnya.

"Ah Aoi-chan, biar aku yang bayar—oke aku yang teraktir. Kau juga mau pesan apa? Aku yang bayar"

Oh, sedang acara traktiran rupanya. Penasaran, gadis belia itu menolehkan kepalanya hendak melihat siapa laki-laki yang tengah berbaik hati mentraktir teman-temannya. Berani mentraktir berarti punya uang. Mungkin saja dia mengenali orang itu jika memang adalah putra dari keluarga kaya. Tapi, apa yang dia dapati?

Sosok laki-laki miskin yang tak lain adalah pegawai magang di bar Fujisaki. Orang yang pernah dia berikan tip dan dia remehkan. Megu segera memalingkan wajahnya dan dengan gugup meraih gelas royal milk tea-nya. Meleset. Rasa gugup telah merusak kendali tubuhnya dan dengan sukses jemarinya malah mendorong gelas itu jatuh ke lantai.

PRANGGG.

Dia terlalu gugup untuk menggunakan kekuatan telekinesisnya dan hanya bisa terpekur memandangi pecahan gelas di tengah genangan kecoklatan royal milk tea-nya.

Bodoh.



Label:


Been Here @ 03.43




I ♥ Hello Kitty

[BREAK-OUT]

Bercanda.

Tiba-tiba saja setelah kedatangan Jun-kun berekor, Takeda-san meracau menjelaskan latar belakang keluarga yang selama ini tidak pernah diketahui oleh Megu. Konon, menurut Takeda-san—sang sopir pribadi terpercaya, keluarga besar Nobu memiliki darah siluman sekitar 9 sampai 10 generasi yang lalu. Siluman. Bisa kau percaya itu?

Kehidupan seorang Megumi Nobu selama ini tak pernah bersentuhan dengan hal-hal gaib, segala hal yang dia inginkan terpenuhi dengan mudah karena kekayaan keluarganya. Yah, itu jika Megu ingin melupakan beberapa hal gaib yang kadang terjadi di luar kendalinya. Seperti membuat diary-nya terjatuh saat dia menatap dan berpikir hendak mengambilnya. Dan terakhir, saat di mobil kemarin. Entah bagaimana, botol parfum yang dijatuhkan oleh Takeda-san bisa tiba-tiba melayang ke tangannya.

Jika sudah seperti itu rasanya sulit membantah dan mengatakan ketidakpercayaannya pada status darah keluarganya dan—kenyataan bahwa dia memiliki kekuatan aneh. Sebutlah itu sihir, seperti yang akan dipelajarinya nanti di Akademi Ryokubita. Bukan hal yang mudah membujuk seorang Megu yang tengah mereguk kepopuleran di bidang modelling. Apalagi menyuruhnya masuk ke sekolah asrama yang jauh dari hingar-bingar kehidupan gemerlap selebriti. Lantas, apa yang telah membuat nona muda itu akhirnya menerimanya?

Mau tahu?

Sungguh?


Megu kesepian dan jujur saja dia jenuh dengan kesehariannya yang hanya begitu-begitu saja. Meski berat meninggalkan dunia modellingnya untuk beberapa tahun ke depan, dia pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke Ryokubita dan mempelajari bidang ilmu yang selama ini dia sebut dengan kata gaib. Megu juga tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya. Penasaran, mungkin. Dan salah satu penyebab utama dia memutuskan untuk masuk ke akademi sihir itu adalah Jun-kun.

Takeda-san mengantarnya sampai ke depan pintu Fujisaki Inn, dimana dia akan menginap selama beberapa hari. Dengan tatapan menyelidik, Megu mengamati bangunan bergaya kuno tersebut. Kagum sekaligus jijik. Semua serba kuno disini. Tak ada seorang pun yang memiliki selera fashion kelas atas seperti dirinya. Rasa-rasanya dia mulai menyesali keputusannya.

"Rasanya aku lebih baik pulang saja, Takeda-san," ujarnya cepat ketika Takeda-san hendak membukakan pintu Fujisaki Inn untuknya. "Aku tak mungkin hidup di tempat kumuh dan kuno seperti ini. It just impossible." Megu menggelengkan kepalanya.

"Jangan begitu, Nona. Nenekmu sudah bilang bahwa Nona seharusnya belajar merendahkan hati dan tidak bersikap meremehkan segala sesuatu. Justru dengan belajar di Ryokubita, Nona bisa belajar bersosialisasi dengan sesama penyihir muda," ujar Takeda-san, mencoba menahan Megu, "dan Nona tidak akan kesepian seperti di rumah."

"Siapa bilang aku kesepian?! Jangan kurang ajar. Sudahlah kau pulang saja, Takeda-san. Aku akan memberi kesempatan pada sekolah itu selama satu minggu! Jika aku tidak kerasan, kau harus segera menjemputku pulang!" Dengan kesal, Megu mengusir sopir pribadinya. Lancang sekali telah mengatakan dirinya kesepian meski itu memang kenyataannya. Yang sampai mati pun takkan diakuinya.

Gadis belia itu melangkah dengan anggun menuju konter, menatap angkuh pada orang-orang yang ada di dalam bar. Megu memesan satu kamar single dan langsung beranjak mencari kamarnya.

Dan dia tersasar.

Entah ada dimana dia sekarang. Biasanya selalu ada Takeda-san atau pelayan yang mengantarkan dan membawakan barang-barangnya. Kali ini tak ada. Panik. Kepanikan membuatnya tak melihat ke depan dan tiba-tiba saja kakinya tersangkut sesuatu.

"AAAAhhh!!"

GUBRAK

"Itte!"




"Kau juga payah, tak bisa melihat ke depan eh nona?"

Menyebalkan. Siapapun itu yang baru saja mengomentari dirinya. Ya, dia memang tadi tidak melihat ke depan karena dia panik. Ini tempat yang sama sekali asing baginya dan dia benar-benar sendirian tanpa didampingi Takeda-san atau pelayannya yang lain. Tempat kumuh ini benar-benar diisi oleh orang-orang yang tak punya sopan santun. Mengernyit kesal, Megu segera mengangkat tubuhnya dari tanah yang kini mengotori bajunya dengan sempurna. Beruntung wajahnya tidak terkena noda tanah sama sekali, tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila tanah kotor itu menempel di wajahnya. Menjijikkan.

Megu menatap orang-orang disana dengan tampang kesal yang tak dia sembunyikan. Menyipitkan mata saat menatap bocah gila yang hanya bisa berkomentar tanpa bertindak. Nampaknya, kaki sialnya itu yang menyebabkan dia dan perempuan satunya lagi terjatuh. Baru pertama kali ini Megu bertemu dengan sosok laki-laki yang tidak menghargai perempuan. Lihat bagaimana laki-laki itu balas menginjak seorang perempuan yang baru saja datang hendak membantu mereka.

Benar-benar. Tempat kumuh. Penghuninya pun kumuh.

Dan Megu ada di antara kekumuhan tersebut. Cih.

"WOAAAH!!! KECELAKAAN BERUNTUN! SUGOI!!"

Sugoi? Sugoi gundulmu!

Bisa-bisanya bocah itu menjerit-jerit tak karuan melihat orang lain celaka. Dia itu laki-laki atau bukan? Megu benar-benar kesal. Apalagi ketika melihat heels stilletonya patah sebelah. Dengan geram Megu menatap ke arah patahan heels tersebut—memusatkan konsentrasi dan memerintahkan patahan sepatu tersebut melayang kencang langsung ke arah bocah menjerit. Dan patahan heels sepatu itu pun melayang sendiri sesuai perintahnya.

SYUUUUT—

PLETAK!

Senyum sinis pun tersungging di bibirnya.

Well, well, well. Tak ada ruginya memiliki kekuatan lebih. Deshou?





Menarik.

Megu melihat dengan jelas apa yang terjadi pada heels stilletonya saat hampir mengenai si lelaki pemekik. Berhenti tepat sebelum menyentuh kulit seperti tertabrak dinding transparan lalu terjatuh begitu saja ke tanah. Rupanya dia memiliki kemampuan lebih seperti Megu. Benar juga, tempat ini adalah dunia sihir yang berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya. Tak aneh bila ada banyak orang yang seperti dirinya sendiri. Well, pandangan Megu mulai sedikit berubah tentang tempat kumuh ini. Merasa sejenis, mungkin?

Gadis belia itu merasakan perbedaan yang kontras. Sebelumnya, dia selalu berada di tempat-tempat yang wajar, normal. Sekolah di sekolah biasa, menjalani pekerjaannya sebagai model, meladeni penggemar-penggemarnya, berbelanja sampai puas di butik-butik ternama dan berpesta bersama teman-teman modelnya. Tapi disini, segala kenormalan, kemewahan dan popularitas itu seolah lenyap bersama jalinan angin yang kini mempermainkan surai keemasannya. Disini adalah dunia keduanya. Dia harus mulai belajar beradaptasi sekarang. Hal yang tak mudah bagi seorang nona manja seperti Megu.

"Siapa tadi yang melempar?!"

Berusaha bersikap biasa, gadis belia itu bangkit berdiri setelah melepas kedua sepatunya. Sulit untuk berjalan dengan sepatu yang heelsnya patah sebelah. Mau coba? Dengan anggun Megu berjalan sambil mengibaskan rambut pirangnya ke belakang—menghampiri anak perempuan yang tadi meminta maaf padanya. Mengulaskan senyum tipis.

"Tak apa. Seharusnya dia yang minta maaf," ujar Megu ketus seraya mengendikkan kepala ke arah pemuda yang tadi menjulurkan kakinya. "Kau punya sopan santun atau tidak?"

Lalu dia mengerling sejenak pada lelaki pemekik dan menjawab pertanyaannya, "Aku yang melempar. Dan aku ingin kamu menceritakan bagaimana caranya patahan heels itu tidak bisa mengenaimu." Megu berbicara dengan nada memerintah dan dingin meski dia sungguh ingin tahu lebih banyak.





"Namaku Nobu. Megumi Nobu," ujarnya singkat pada semua yang berada disana. Dia memang terkesan angkuh tapi dia tak seangkuh tuan yang tak ingin namanya disebut itu. Mendelik pada kedua anak lelaki bermarga Hiou; Megu menghela nafas. Perbedaan yang sangat kontras jika mengingat dua orang itu bersaudara. Yang satu luar biasa heboh seperti harimau lapar; yang satu lagi arogan luar biasa—rasanya Megu ingin sekali menimpuki batu ke wajah menyebalkan itu. Peduli setan dengan tampangnya yang ganteng.

Sudahlah, bukan saatnya marah sekarang. Dia ingin segera ke kamar lalu mandi dan berganti pakaian; lihat saja setelan mahalnya yang sudah kotor akibat terjatuh ke tanah. Kalau saja Takeda-san atau salah satu pelayannya ada disini, mereka pasti sudah ketakutan setengah mati dan buru-buru membawa gadis belia itu untuk membersihkan diri. Takut dipecat, tentu saja.

"Hey, kau. Kenichi Tadashii," ujarnya sambil menatap anak lelaki itu dan menyodorkan sepatunya yang telah patah sebelah, "Tolong, buang sepatu ini untukku. Dan bawakan koperku ke kamar. Aku ingin bicara denganmu; empat mata."

Tanpa menghiraukan jawaban yang mungkin diberikan oleh Tadashii dan tatapan yang dilemparkan entitas lain yang ada disana, Megumi beranjak dari taman tersebut setelah memastikan Tadashii akan mengikuti sambil membawakan barang miliknya. Dia kemudian teringat bahwa tadi dia sampai ke taman itu karena tersasar. Heu—

Di mana kamarnya berada, ngomong-ngomong?

Label:


Been Here @ 03.35




I ♥ Hello Kitty

[TEGAMI]


“Nice shoot, Megu-chan! Kau boleh pulang sekarang.”


“Hai. Arigatou!”


Gadis belia itu bangkit berdiri dari sofa yang baru saja digunakan sebagai pelengkap pemotretan hari ini. Sambil menyeka bintik-bintik keringat dengan handuk bersih, dia melangkah keluar dari studio—hendak menghirup udara segar. Satu jam sudah dilewati dengan berbagai pose dan kostum yang beraneka, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Pemotretan hari ini entah kenapa terasa tidak menyenangkan. Heu—mungkin karena Jun-kun, fotografer CHIC Magz yang biasa memotretnya tidak bertugas hari ini. Jun-kun lebih piawai dalam memotret dan lelaki itu juga pandai membuatnya merasa santai selama pemotretan.

Kabarnya, sih, hari ini Jun-kun sedang mengurus persiapan pernikahan bersama calon istrinya. Menyebalkan. Megumi merasa kesepian kalau teringat sebentar lagi Jun-kun akan menjadi suami orang. Megu kan tidak hobi merusak rumah tangga orang. Dan berita itu sempat membuatnya terkejut beberapa jam yang lalu. Jun-kun tak pernah cerita bahwa dia sudah bertunangan dan selama ini Megu berpikir bahwa lelaki itu sebenarnya mencintai dirinya.

Sudah waktunya mencari teman bermain yang baru. Bohong. Hati Megu sakit.

Tungkai rampingnya yang dibalut stiletto hitam mahal melangkah anggun menuju ke tempat parkir dimana mobil sedan putihnya berada. Takeda-san—sopir pribadinya dan chihuahua kecilnya telah menunggu disana. Megu segera masuk ke dalam mobil ketika Takeda-san membukakan pintu dan dia langsung membuka lemari pendingin mengambil segelas jus apel—meminumnya perlahan membiarkan cairan manis yang dingin itu menyegarkan kerongkongannya yang kering.

Mobil sedannya kini sudah mulai melaju membawanya ke tempat pemotretan berikutnya. Lelah, tentu. Tapi dia menikmati popularitas yang direguknya dari kegiatan tersebut. Uang bukanlah yang dia cari karena semua itu telah dia miliki tanpa perlu bersusah payah. Baru saja gadis belia itu hendak mengistirahatkan tubuhnya sejenak, tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkan terdengar bergema di dalam mobilnya. Membuat Paris, chihuahua kecilnya menggonggong ketakutan.

PPONG!

"Konnichiwa, tuan-tuan dan nyonya serta calon murid yang terhormat!"

Apa itu?

Jun-kun berekor tiba-tiba duduk di sampingnya di bangku belakang mobil. Memberikan salam yang luar biasa aneh di telinga Megu. Calon murid?Dare da?

"seperti yang sudah bisa Anda duga sebelumnya dan seperti apa yang tertera pada surat tugas saya bahwa dengan ini saya hendak memberi tahu bahwa anak Anda mendapat kesempatan untuk bersekolah dan menjadi bagian dari akademi sihir kami; Ryokushoku o Obita."

Megu menaikkan sebelah alisnya menatap Jun-kun jadi-jadian dengan heran. Sebenarnya, lelaki itu sedang bicara dengan siapa?

Anoo—,” ujar Megu hendak memotong. Alih-alih didengar, gadis belia itu malah dijejali buntalan hijau kumal oleh Jun-kun berekor yang terus meracau tentang sekolah, formulir pendaftaran, akademi dan entah apa lagi. Intinya, Megu tidak sempat melontarkan pertanyaan maupun protes pada lelaki itu.

"akhir kata, izinkan saya undur diri dari hadapan Anda sekalian. Adiosu, Mata nee!"
Dan secepat datangnya, lelaki itu tiba-tiba lenyap. Megu segera melemparkan pandangan penuh tanda tanya pada Takeda-san lewat kaca spion. Aneh, sopirnya itu seolah tidak terkejut melihat kejadian misterius barusan. “Takeda-san, yang barusan itu apa?”

“Tanuki. Utusan dari Akademi Sihir Ryokushoku o Obita,” ujar Takeda-san tenang, “Anda akan bersekolah di sana mulai tahun ini, Nona Megumi. Salah satu leluhur Anda adalah siluman dan salah satu nenek Anda dari pihak keluarga Nobu tentunya adalah seorang miko di sebuah kuil di Yokohama yang menguasai sihir. Anda adalah keturunan kedua dalam keluarga Nobu yang mendapatkan tawaran untuk bersekolah di sana. Selamat.”

Megu terbelalak, “Aku penyihir? Uso darou*.”

Takeda-san hanya tersenyum samar, tetap memandang ke depan, “Tentu Anda pernah membuat benda di dekat Anda melayang atau bergerak tanpa disentuh.”

Glek.

“Darimana Takeda-san tahu?”

“Itu salah satu kekuatan yang dimiliki penerus keluarga Nobu.”

Takeda-san kemudian melakukan sesuatu yang takkan pernah terbayangkan oleh Megu. Lelaki itu mengangkat botol parfum kesayangan Megu lalu membuka semua jendela mobil, perlahan lelaki itu mengulurkan botol parfum tersebut keluar dan melepaskannya. Botol parfumnya menggantung di udara sesaat dan dengan cepat bergerak turun—siap bertegur sapa dengan aspal.

Syuutt.

Dame!” pekik Megu sembari mengulurkan tangannya dan tiba-tiba saja botol parfum itu berhenti di udara dan melayang perlahan ke dalam genggaman Megu.

Su… sugoi!”

Takeda-san tertawa puas dan menutup kembali semua jendela mobil.

Label:


Been Here @ 03.26




I ♥ Hello Kitty

Ryokushoku o Obita
Japanese Academy of Magic



Photobucket


[Nama Lengkap]: Megumi Nobu

[Nama Panggilan]: Megu, Megucchi

[Tempat dan Tanggal Lahir]: Yokohama, 17 Mei 1986

[Kewarganegaraan]:Jepang

[Asrama]:

[Mahou no Tsue (Tongkat Sihir)]:

[Peliharaan]: Seekor chihuahua betina berwarna peach bernama Paris.


[Alat Transportasi yang Dibawa di Ryokubita]: -

[Barang Elektronik yang Dibawa di Ryokubita]: Digital Camera (Sony Cybershot DSC-S75)

[Kegiatan yang Diikuti]: Modelling. Sejak kecil telah aktif dalam kegiatan modelling baik di sekolah maupun di agensi model bergengsi di Tokyo.


Latar Belakang Keluarga

[Nama Ayah]: Daisuke Nobu

[Nama Ibu]: Mitsuka Nobu (Uehara)

[Nama Saudara]:
Tidak ada

[Latar Belakang Keluarga]:
Memiliki darah siluman yang kekuatannya diturunkan pada Nenek (seorang Miko) dari pihak ayah dan sekarang, Megumi. Kedua orangtuanya selalu sibuk bekerja, seringkali meninggalkannya untuk mengurus perkembangan hotel-hotel mereka di luar Jepang. Megu hampir setiap saat sendirian di rumah bersama sopir pribadi, pengasuh dan para pelayannya.

Data Personal

[Tinggi / Berat]: 163 / 50

[Golongan Darah]: O

[Warna Mata]: Hazel

[Warna Rambut]: Pirang (di cat)

[Warna Kulit]: Putih mulus

[Ciri khusus]: Tanda lahir berbentuk salib di pinggang belakang. Tidak bisa gemuk.

[Personaliti Karakter]:
Sedikit angkuh, ambisius, gengsinya tinggi, fashionable (branded lover), tidak terlalu peduli perasaan orang yang penting dirinya senang, tak suka pada orang yang kuper. Manja dan keras kepala karena selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan. Sebenarnya Megu adalah pribadi yang haus akan kasih sayang orangtua sehingga dia seringkali terlihat berjalan bersama fotografer-fotografer genit semata-mata untuk merasakan kasih sayang sesaat. Pemilih dalam berteman, lebih memilih orang-orang yang bisa dimanfaatkan atau yang biasa dia sebut ‘layak’ menjadi teman. Gila pesta. Sangat menyukai makanan manis. Megu lebih percaya pada sopir pribadinya, Takeda-san yang telah mengabdi di keluarga Nobu bahkan sebelum dia lahir.

[Bakat dan Kekurangan]:
Bakat: Tentu saja di bidang modelling. Bisa berakting.
Kekurangan: Tidak terlalu bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Phobia ketinggian.

TRIVIA

Tidak suka jika ada orang yang tidak menuruti keinginannya.
Memiliki kekuatan untuk menggerakkan benda sesuka hatinya.
Maniak HelloKitty.

Label:


Been Here @ 03.18