Da Favola.Fairytale.Omong kosong yang kini menjadi nyata.
Setidaknya pada kehidupan seorang Megumi Nobu, putri tunggal sekaligus pewaris grup Nobu—penguasa hotel-hotel berbintang lima yang tersebar di seluruh belahan dunia. Kehidupan yang selama ini dipenuhi oleh kemilau dunia selebriti, kepopuleran dan harta—kini tiba-tiba berubah drastis dengan kehadiran sesuatu bernama
sihir.
Gadis belia itu melangkah berayun dengan anggun, tungkainya yang terbalut boots Jimmy Choo hitam terbaru bergantian bergerak maju dengan teratur—terbiasa melangkah di atas
catwalk. Tubuh rampingnya terbalut
mini dress putih yang menonjolkan warna kulit dan surai pirangnya. Gadis belia itu tak menghiraukan pandangan kagum orang-orang yang dia lalui, terus melangkah sambil sesekali menyuapkan sesendok es krim
vanilla ke dalam mulutnya.
Beberapa hari telah terlewati sejak dia menerima buntalan hijau kumal dari Jun-kun berekor, sejak dia mendengar kenyataan tentang latar belakang dan status darah keluarganya. Dia, Megumi Nobu, seorang model yang tengah berada di puncak karirnya, ternyata memiliki warisan darah siluman. Keturunan kedua dalam keluarga Nobu katanya. Sulit bagi gadis belia itu untuk menerima kenyataan tersebut, tapi lebih sulit lagi untuk menyangkalnya.
Kekuatan yang ada dalam dirinya memperjelas segalanya. Dia memang bukan manusia biasa. Dengan ekor matanya, gadis itu melirik sebongkah batu kecil dan mengulurkan tangannya. Dengan sedikit perintah yang dikirim oleh otaknya; batu kecil itu melayang dan mendarat tepat di atas telapak tangannya. Jika kenyataan sudah seperti itu, bagaimana mungkin seorang Megumi Nobu bisa menyangkal?
Peduli setan dengan perintah dari Nenek perawan tua penjaga kuil itu. Berkoar-koar soal meneruskan darah penyihir dalam keluarga. Gadis itu tak peduli. Alasan utamanya berada disini adalah Jun-kun. Pria jahanam yang telah menipu dirinya selama lebih dari setahun dan meninggalkannya begitu saja—menikah dengan perempuan lain setelah mendapatkan segalanya dari gadis itu.
Langkahnya terhenti—kristal hazelnya terpaku pada satu sosok adam yang tengah bermain-main dengan koin dan punggung tangannya. Dilihatnya dua sosok lain kemudian menghampiri dan berinteraksi dengan sang adam. Seolah ada sesuatu yang mendorongnya, kedua tungkai gadis belia itu mulai melangkah menghampiri. Pertama kali sejak kedatangannya di Senshu, dia menghampiri orang lain—
—dan menyapa."Kalian," ujarnya datar, "sedang apa?"
"Melihat langit," jawab sang adam singkat setelah sebelumnya menegur seseorang yang berniat mengejutkan dari belakang. Dia hanya menaikkan sebelah alis saat melihat kejadian tersebut; bukan pada sang adam tapi pada bocah usil itu. Jenis manusia kurang kerjaan yang hobinya hanya membuat keributan dan mengganggu ketenangan orang lain. Biasanya, manusia macam itu berisik tapi tak punya otak. Megu mendengus pelan. Dia melemparkan tatapan sekilas pada entitas-entitas lain yang ada disana. Tersenyum samar; basa-basi.
"Mengagetkan kakak itu, tapi dia tidak seru!"Yah, kau dimaafkan karena masih kecil. Sudah pernah bilang bahwa Megu menyukai anak-anak? Dia ingin punya adik dan selama ini kedua orangtuanya tidak mengindahkan keinginan Megu karena kesibukan mereka. Garis wajahnya melunak sekarang, memberi tepukan samar di kepala si bocah kecil dan memberikan senyum hangat padanya. "Karena yang kamu lakukan barusan itu tidak sopan," ujarnya menasehati sambil menggerak-gerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan.
Gadis belia itu kembali menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya lalu melangkah perlahan mendekati sang adam yang belum dia ketahui namanya. Entah mengapa, gadis belia itu tertarik lalu menghempaskan bokongnya di atas rumput; menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang kokoh tepat di samping sang adam—membelakangi si bocah. Dengan lembut gadis belia itu mendongakkan kepala dan membiarkan kristal hazelnya bersirobok dengan birunya langit Senshu. Langit yang benar-benar biru; berbeda dengan langit kota Tokyo yang sudah ternoda dengan polusi.
Apakah Jun-kun sekarang sedang menatap langit yang sama?Bodoh. Untuk apa dia lagi-lagi mengingat pria tak tahu diuntung itu. Belum cukupkah pengkhianatan yang telah dilakukannya pada Megu sehingga gadis belia itu masih saja teringat pada sosoknya? Atau mungkin, kerinduan itu adalah sebuah bukti bahwa dirinya selama ini memang kesepian dan hanya Jun-kun satu-satunya orang yang mampu mengisi kekosongan dalam dirinya.
Ah, sudahlah. Persetan dengan Jun-kun. Persetan dengan rasa sepi.Gadis belia itu mendengarkan satu persatu entitas di sekitarnya memperkenalkan diri. Satu demi satu nama disebutkan. Hotaru Amano, Adriano Constanza dan Tsuzuki Sawada. Kali ini gilirannya?
"Aku, Megumi Nobu," ujarnya kemudian memperkenalkan diri. Sesekali tidak bersikap ketus rasanya tidak buruk juga.
Mungkin."Jadi," Megu menolehkan kepalanya menatap sang adam yang telah diketahuinya bernama Adriano—asing, "Apa yang kau lihat di langit? Atau, kau sedang memikirkan sesuatu?"
Es krim dan anak kecil. Ah, tepatnya es krim dan Tsuzu-chan mungkin. Dua hal yang saat ini membuat seorang Megumi Nobu yang biasanya ketus menjadi lebih lunak. Semoga saja tak ada hal yang tiba-tiba membuat mood santainya sekarang menghilang. Gadis belia itu menganggukkan kepala pada si bocah kecil sebagai jawaban atas pertanyaannya lalu memalingkan kembali wajahnya—kali ini menatap ke langit.
"Yang kulihat—ya langit. Awan, mungkin," jawab Constanza datar, masih memainkan koin di tangannya.
"Memikirkan sesuatu? Mungkin."Dia terdiam ketika jawaban mengalir dari bibir Constanza yang duduk di sampingnya. Kedua kristal hazelnya masih terpaku pada hamparan biru sang langit. Tahukah kau mengapa manusia seringkali menatap langit dan terdiam saat hati mereka dipenuhi dengan beban yang tak mampu terucapkan? Adakah seseorang yang tahu jawaban dari misteri tersebut? Bahkan Megu sendiri seringkali menatap ke langit setiap kali sesuatu yang tak menyenangkan terjadi dalam kehidupannya—atau saat merindukan seseorang seperti saat ini.
Dan entah bagaimana, langit dan awan-awan yang bergerak lambat selalu mengalirkan rasa nyaman yang melegakan hatinya.
Satu tahun yang lalu dia mengenal Jun-kun saat pemotretan pertamanya sebagai model untuk
cover CHIC Magz. Pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya; berprofesi sebagai fotografer utama di majalah tersebut. Jun-kun yang selalu menghiburnya saat dia kesal ataupun sedih, Jun-kun yang selalu menemaninya saat dia sedang ingin bersenang-senang. Tak peduli meski kedua orangtuanya nyaris tak pernah pulang ke rumah karena kesibukan mereka; karena Jun-kun selalu ada di dekatnya. Bahkan saat Asuka mengkhianati persahabatan mereka dan mengakui bahwa dia hanya memanfaatkan kekayaan Megu; Jun-kun ada disana menghiburnya.
Dan beberapa hari yang lalu; tiba-tiba saja saat pemotretan dia mendapat kabar bahwa Jun-kun akan menikah dari fotografer penggantinya. Menikah. Bukan dengan Megu. Dan Jun-kun sama sekali tidak memberi kabar padanya atau setidaknya memutuskan hubungan mereka. Telepon dan SMS yang dia kirimkan tak satupun yang berbalas. Jun-kun seolah lenyap dari muka bumi, meninggalkan tuan putri Nobu kembali seorang diri.
Heu—gadis belia itu mendesah ketika semilir angin mempermainkan surai keemasannya. Hatinya sakit bila mengingat bahwa dia dibuang begitu saja oleh Jun-kun yang begitu dicintainya; merasa bodoh karena telah memberikan semua yang diminta oleh pria itu. Naif mungkin. Tak menyadari bahwa dirinya mungkin tengah dimanfaatkan habis-habisan oleh seorang fotografer muda.
Jadi, apa sesungguhnya yang dia cari di langit? Jun-kun tak mungkin ada disana.
Jemarinya bermain-main mengitari lingkaran gelas es krimnya; membiarkan sisa es krimnya mencair. Menoleh sejenak pada seorang gadis yang menyebut namanya sebagai Lotusia—menatap datar dan mengangguk samar, lalu berbalik kembali menatap ke langit.
"Langit seringkali membuat manusia jadi cengeng, Constanza," ujarnya pada Constanza—nada sinis terdengar samar dalam intonasi suaranya kemudian, "Setidaknya bagiku."
Segaris senyum miris melengkung di wajahnya.
"Tsuzu-chan," panggilnya lembut, "apa pendapatmu tentang langit?"
Label: Favola 2001