<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d9127589673325255643\x26blogName\x3dMegumi+no+Heya\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://meguminobu.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://meguminobu.blogspot.com/\x26vt\x3d3972491485340668440', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script> <iframe src="http://www2.blogger.com/navbar.g?targetBlogID1837349476514296927&blogName=eggiines piiggy&publishMode=PUBLISH_MODE_BLOGSPOT&navbarType=SILVER&layoutType=CLASSIC&homepageUrl=http%3A%2F%2Feggiinespiiggy.blogspot.com%2Findex.html&searchRoot=http%3A%2F%2Feggiinespiiggy.blogspot.com%2Fsearch" height="30px" width="100%" marginwidth="0" marginheight="0" scrolling="no" id="navbar-iframe" frameborder="0"></iframe> <div id="space-for-ie">

The Girl

Megumi Nobu .

Tagboard

Cbox .


Profile

Megumi Nobu .
17 May 1986
Ryokushoku o Obita
15
Email : Click Here

Cravings

A Bestfriend
A Loyal Boyfriend
A Real Family
Upgrading my Power

Way Out
Memories

Januari 2010
Maret 2010

Music

Imeem . Music Codes Here :D

♥ 0 Songs Currently Playing ♥

Credits

Designer & Image: Agnes
Base Code: Tammy
Inspirations: Milky
Image Host: Tinypic
Others: Dorischu


Senin, 01 Maret 2010

I ♥ Hello Kitty

THIS LOVE
a fan fiction written by Yuki Aikawa

Disclaimer:
  • Ryokubita (all staffs and members)
  • Megumi Nobu (mine)
  • Tetsuyama Ikuya (Deela)
  • Junichirou Takehara, Kogoro Aoki, Satoru Takeda (NPC)
Rating: 15+

A respond to Deela's FF as Tetsuyama Ikuya : Dilemma


Musim panas, bulan Agustus tahun 2003

Namaku Megumi Nobu. Seharusnya kau sering mendengar namaku karena aku sering muncul di majalah-majalah dan juga iklan-iklan di televisi. Aku adalah seorang model yang sedang populer di Jepang, memiliki cukup banyak penggemar yang mencintaiku dan selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Bahkan, sekalipun kegiatanku kini menjadi sangat terbatas karena aku harus tinggal di asrama sekolah sepanjang tahun, mereka tetap mendukungku dan cukup puas dengan artikel mingguan tentang kehidupanku di sekolah yang diterbitkan di CHIC Magz—majalah fashion yang telah memperpanjang kontrak dengan agensiku selama 2 tahun ke depan terhitung sejak dua hari yang lalu.

Tak satupun dari mereka yang tahu bahwa sekolah tempatku belajar sekarang adalah sekolah yang mengajarkan tentang ilmu sihir. Aku, putri tunggal keluarga Daisuke Nobu ini adalah keturunan dari siluman kucing dan seluruh keluarga besarku adalah penyihir meski hanya dua orang dalam keluargaku yang masih hidup yang mendapatkan warisan kekuatan siluman kucing tersebut—aku dan adik dari nenekku. Sepertinya gen siluman kucing itu hanya turun pada keturunan perempuan saja di keluargaku. Apakah kau takut padaku sekarang? Semoga saja tidak. Aku sendiri cukup senang dengan kenyataan tersebut meski pada awalnya aku sedikit takut dan merasa aneh. Tapi, aku bisa melakukan dua hal yang amat sangat menyenangkan dengan kekuatan yang kudapat dari darah siluman kucing.

Pertama, aku bisa menggerakan barang apapun hanya dengan membayangkannya di otakku—sekarang aku hanya bisa menggerakkan barang-barang yang ringan saja. Kedua, aku bisa menyembuhkan meski sekarang baru mampu menyembuhkan luka goresan kecil dan menghentikan darah. Nenekku bilang, kekuatan itu akan berkembang seiring dengan bertambahnya usiaku. Menyenangkan, bukan?

Ah, cukup tentang perkenalanku. Sekarang aku sedang berada di studio rekaman dan sedang menyanyikan lagu yang akan menjadi salah satu lagu di dalam album single perdanaku. Rencananya, album tersebut akan berisi tiga buah lagu yang telah kutulis selama berada di sekolah. Liburanku kali ini nyaris dihabiskan untuk dipakai bekerja sehingga aku tidak sempat berjalan-jalan. Jadwalku begitu ketat dikarenakan banyaknya permintaan dari rumah produksi dan rumah mode. Untung saja, Takeda-san yang sekarang merangkap menjadi manajerku (bukan hanya sopir pribadi saja) telah mengurus jadwalku sehingga liburan kali ini hanya diisi dengan kegiatan rekaman, serangkaian promosi album single dan pemotretan di beberapa majalah saja. Hebatnya, satu minggu terakhir liburan benar-benar dikosongkan oleh Takeda-san sehingga aku bisa bebas melakukan apa saja!


"Stop, stop! Nobu-san, di bagian refrain coba kau nyanyikan dengan lebih lembut," ujar Kogoro-san dari balik kaca yang memisahkan ruang operator dan ruang kedap suara tempatku berdiri saat ini. Kogoro Aoki adalah seorang produser musik yang telah banyak menelurkan solois dan grup musik nomor satu di Jepang. Aku sangat senang bisa bekerja sama dengan orang sehebat beliau. Meski beliau adalah seorang produser yang amat keras saat bekerja, aku yakin, beliau akan membuat album singleku ini laris di pasaran. Musik aransemennya sangat luar biasa.

"Baik, Kogoro-san," ujarku menganggukkan kepala. Aku melepas sejenak headphone dari kepalaku dan meminum seteguk air putih dalam botol minum Hello Kitty milikku sebelum kembali bernyanyi. Aku melemparkan senyum pada Takeda-san yang berdiri bersandar memperhatikanku dengan tatapannya yang teduh. Meski dia adalah sopir pribadiku dan kini merangkap sebagai manajerku, aku telah mengenal Takeda-san sejak aku berusia 3 tahun. Ia lebih seperti ayah bagiku ketimbang ayah kandungku sendiri dan aku sangat mempercayainya melebihi siapapun di dunia ini.

"Bisa kita mulai, Nobu-san?"

"Tentu."

Aku pun kembali menempelkan headphone ke telinga kananku, membiarkan telinga kiriku tetap terbuka untuk mendengarkan suaraku sendiri lalu membenarkan posisi microphone agar pas di depan bibirku. Tak lama kemudian, musik mengalun dari headphoneku—tanda bahwa aku harus mulai konsentrasi dan meresapi laguku. Lagu yang kutulis untuk Tetsu, seseorang yang kini kucintai namun sayangnya tak bisa kumiliki. Ketika aku membuka mulutku untuk mulai bernyanyi, tiba-tiba saja pintu studio terbuka dan sosok yang melangkah masuk ke ruang operator membuatku terdiam.

Junichirou Takehara, mantan kekasihku yang meninggalkanku begitu saja dengan menikahi perempuan lain, masuk ke dalam ruangan dengan kamera SLR menggantung di lehernya—membuat waktu seolah berhenti untuk beberapa saat bagiku.

Aku bisa melihat Kogoro-san yang marah karena kehadiran Jun-kun yang mengganggu proses rekaman. Aku bisa melihat kata maaf yang berulang kali terlontar dari gerakan bibir Jun-kun yang membungkuk hormat pada Kogoro-san. Tenggorokanku tercekat. Aku tak bisa berkata-kata. Musik kemudian berhenti mengalun dari headphone yang kupegang. Entah apa yang kemudian mereka perbicangkan karena tiba-tiba saja Jun-kun diijinkan masuk ke dalam ruang kedap suara tempatku berada.

"Apa kabar, Megu-chan?" ujar pria brengsek itu menyapaku dengan senyum yang sebelum ini selalu mampu meluluhkan hatiku—seolah dia tidak melakukan satu kesalahanpun padaku.

"Aku baik-baik saja seperti yang kau lihat, Junichirou-san," ujarku ketus. Aku memalingkan wajahku dan menatap Takeda-san—meminta pertolongan agar pria di dekatku ini diusir keluar dari studio. Takeda-san hanya menggelengkan kepala, tak bisa mengabulkan keinginanku. Aku tak punya pilihan selain mengarahkan hazelku kembali pada Jun-kun.

"Junichirou-san, eh? Formal sekali, tidak seperti dirimu yang biasanya." Pria itu melangkah semakin dekat sementara aku melangkah mundur menjauhinya. Cinta yang dulu pernah ada untuknya, kini telah berubah menjadi benci yang teramat sangat.

"Jangan mendekat! Aku tak ingin dekat-dekat denganmu!" Aku menahan langkahnya dengan gerakan tanganku sementara mataku menatap tajam padanya. Aku heran, untuk apa fotografer fashion seperti dirinya datang ke tempat ini—mengganggu proses rekamanku. Aku bisa saja menuntut perbuatan Jun-kun karena telah melanggar etika. "Mau apa kau disini?"

Langkah pria itu pun terhenti meski matanya bergerak menatapku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki—membuatku merasa jijik karena tatapannya seolah menelanku bulat-bulat. Aku tiba-tiba merasa bodoh karena tak pernah menyadari bahwa selama ini Jun-kun sama seperti pria-pria lain yang mendekatiku karena menginginkan tubuhku. Bukan aku menyombong, tapi aku memiliki tubuh tinggi, ramping sekaligus berisi di tempat yang tepat—yang akan membuat seluruh kaum hawa berdecak kagum dan iri.

"Kau semakin cantik, Megu-chan," ujar pria itu tanpa melepaskan tatapannya ke dadaku. Ia kemudian merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan selembar kartu nama lalu menyodorkannya padaku, "Aku bekerja disini sekarang."

Aku meraih kartu nama yang disodorkannya dan membacanya.



HOT ISSUE MAGAZINE

Junichirou Takehara
-----------------------------
Photographer




Sebuah senyum timpang kini terlengkung di wajahku—meremehkan apa yang kubaca. Aku menyerahkan lagi kartu nama itu kembali pada Jun-kun, tak berniat sedikitpun untuk menyimpannya. "Jadi, sekarang kau turun pangkat jadi fotografer majalah gosip?" Sarkasme. Pertanyaan yang berupa sindiran telak untuk seorang Junichirou. Aku tahu bahwa bayaran untuk fotografer majalah gosip jauh di bawah fotografer fashion dan aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada pria di hadapanku sehingga dia bisa beralih profesi seperti itu.

"Mereka bersedia membayarku dua kali lipat jika aku mendapatkan foto eksklusifmu," Jun-kun menatapku sambil tersenyum licik. Ia perlahan melangkah kembali ke arahku tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan yang akan membuat Takeda-san menerobos masuk dan menghajar dirinya. "Aku akan mengambil foto terbaikmu jika kau bersedia pergi bersamaku setelah rekamanmu ini selesai," pria itu mengedipkan matanya dengan genit, tanpa malu menatap lapar ke arah dadaku sebelum ia menatap mataku.

"Jangan harap kau akan mendapatkan selembarpun fotoku di tempat ini ataupun di tempat lain!" Aku bisa merasakan amarah mulai menggelegak di hatiku. Dengan suasana hati seperti ini, aku tak mungkin bisa meneruskan prosedur rekaman. Aku melangkah melewati Jun-kun, hendak keluar dari ruang kedap suara itu dan meminta Takeda-san mengusir Jun-kun keluar. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Jun-kun mengangkat kamera ke depan wajahnya—hendak memotret diriku yang sedang diselimuti emosi. Aku segera membalikkan badan dan berdiri menghadapinya, tanganku bergerak mendorong kameranya ke bawah sebelum pria itu sempat menekan tombol apapun disana lalu dengan cepat kutampar dia dengan tanganku yang lain.

"LELAKI BRENGSEK!! Keluar kau dari sini!!"

"Seorang model kelas atas sekaligus calon penyanyi, memaki dan menampar wartawan yang hendak memotretnya baik-baik di studio rekaman," Jun-kun menyeringai mengerikan sembari mengusap pipinya yang baru saja kutampar, "Bagaimana jika judul tersebut terpampang di sampul majalah Hot Issue minggu depan, Megu-chan? Kedengarannya akan mengundang banyak kontroversi yang merugikan dirimu."

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku, menahan amarah yang memuncak. Aku tidak tahu bahwa Jun-kun akan berubah menjadi begitu menyebalkan seperti ini. Begitu licik. "Beraninya kau..."

"Atau, perlukah kubeberkan hubungan kita, Megu-chan?"

"Lakukan saja dan kau akan kehilangan nyawamu."

Sebuah suara yang hangat sekaligus bernada mengancam terdengar di belakangku. Takeda-san rupanya menyadari ada yang tidak beres antara aku dan Jun-kun sehingga ia memberanikan diri masuk ke ruang kedap suara ini. Aku segera melangkah mundur menghampiri Takeda-san dan menggenggam lengannya erat. Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajah Jun-kun yang tadi begitu licik kini tampak seperti penjilat yang memohon-mohon pengampunan. Aku tahu, Takeda-san saat ini pasti sedang menatapnya tajam, penuh intimidasi.

"Aku hanya becanda, Takeda-san. Tak perlu mengancam begitu," ujar Jun-kun terkekeh memalukan.

"Cepat pergi dari sini," Suara Takeda-san terdengar sangat dingin. Aku sendiri pun merasa takut mendengarnya, "Jika berita buruk tentang Nona Megumi muncul di majalah mana pun, kau yang akan menanggung akibatnya. Jangan pernah lupa kekuasaan keluarga Nobu di negara ini."

Dan pria brengsek itu pun berlari terbirit-birit keluar dari studio setelah dilempari kotak speaker oleh Kogoro-san. Singkatnya, setelah itu aku dipersilakan untuk pulang dan beristirahat. Rekaman akan dilanjutkan esok hari.

*****

"Anda tidak apa-apa, Nona?" Takeda-san bertanya sembari mengemudikan Lexus merah tua milikku; hendak mengantarku pulang ke rumah.

"Tidak. Aku tidak apa-apa," ujarku lemah. Aku berbohong. Aku sakit hati dan merasa sangat bodoh sekarang tapi aku tidak ingin mengatakannya pada Takeda-san. "Bisa antar aku ke kedai kopi langgananku, Takeda-san?"

"Tentu saja, Nona."

Sementara Takeda-san membelokkan mobil ke arah kedai kopi yang kumaksud, aku menyandarkan punggung dan kepalaku ke sandaran jok mobil. Kupejamkan mataku—berusaha mengusir kemarahan yang masih menguasai diriku. Aku ingin sekali menangis tapi aku menahannya. Jika aku menangis, maka aku kalah dengan diriku sendiri. Aku harus kuat.

"Sudah sampai, Nona."

Kubuka mataku perlahan dan kutegakkan tubuhku, "Terimakasih, Takeda-san. Tak usah menungguku. Aku bisa pulang sendiri."

*****

Kulangkahkan kakiku yang ramping memasuki kedai kopi dengan nuansa tradisional itu. Bau kayu yang lembut samar-samar terhirup saat aku bernafas—aku menyukainya. Aku sadar, orang-orang yang ada dalam kedai tersebut memperhatikan kehadiranku dan aku bersyukur mereka tidak menghampiriku untuk berfoto bersama atau untuk sekedar meminta tanda tangan dariku—karena saat itu aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk meladeni mereka. Jadi, aku tetap berjalan sembari melemparkan senyum pada mereka yang menyapaku; mengarahkan langkahku menuju ke sebuah meja yang berada di pojok kanan—tempat favoritku di kedai ini.

Dan aku melihat Reichi Shibasaki berjalan melewatiku begitu saja—tidak menyadari keberadaanku di tempat ini. Nampaknya kacamata yang ia pergunakan perlu diganti ukuran minusnya. Becanda.

Entah bagaimana, aku merasa bahwa Tetsu ada disana. Jadi, aku meneruskan langkahku dan sesuai dugaanku, aku menemukan Tetsu sedang duduk di meja favoritku dengan kepala tertunduk.

"Iku... Tetsu? Sedang apa disini?" ujarku menyapanya. Terdengar bodoh memang. Kedai kopi adalah tempat umum dan aku melontarkan pertanyaan seolah-olah Tetsu sedang bermain ke rumahku. Anak lelaki itu kemudian mengangkat wajahnya menatapku—dan ia tidak menjawab. Kuputuskan untuk bertanya sekali lagi padanya, "Sedang apa disini?" Kini tatapan anak lelaki itu berubah sinis padaku.

"Tidak sedang apa-apa." Akhirnya Tetsu berujar dengan nada ketus. Aku tahu dia sedang berbohong. Tetsu yang kukenal bukanlah seorang anak lelaki yang bersikap dingin pada kaum hawa. Dia selalu memperlakukan mereka dengan baik—termasuk aku yang jadi jatuh hati padanya. Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekat.

"Kalau begitu, boleh aku duduk di sebelahmu?"

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku menghempaskan tubuhku ke bantal duduk yang ada di sebelah kanan Tetsu dan menatapnya canggung. Aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan sekarang. Selama ini aku selalu menatapnya dari kejauhan, memperhatikan semua yang dia lakukan tanpa memberanikan diri untuk mendekat setelah kejadian ciuman di ruang klub ikebana. Bahkan aku telah mengucapkan selamat tinggal padanya. Lantas, kenapa aku sekarang malah duduk di sampingnya—aku sendiri tak mengerti apa mauku.

Yang aku tahu, aku tidak ingin sendirian saat ini dan aku ingin berada di dekatnya setelah pertemuanku dengan Jun-kun yang mengesalkan.

Aku terdiam di sampingnya sementara dia membuang muka dan menatap ke jendela—ke luar kedai. Kesunyian yang kemudian terjadi membuatku merasa tak nyaman dan keegoisanku pun keluar.

"Kau ini kenapa sih?"

Tetsu menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan kesal lalu mengacuhkan aku. Tatapannya yang menerawang membuat hatiku terasa diiris karena aku yakin, Tetsu sedang memikirkan kekasihnya saat ini. Mungkin mereka sedang bertengkar sehingga tingkah laku Tetsu jadi janggal. Atau, dia masih marah padaku karena pernah menciumnya. Apakah kau membenciku?

Aku memainkan rambutku dengan jemari—salah tingkah karena Tetsu mendiamkan aku. Sesekali aku menatapnya lalu aku kembali menundukkan kepala. Takut untuk mengeluarkan suara karena aura Tetsu terasa mengancam.

Tapi aku tidak tahan didiamkan seperti itu terus-menerus.

"Apa kau masih marah soal ciuman waktu itu?" Akhirnya aku bertanya. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku begitu takut dibenci oleh anak lelaki di sampingku itu.

Dan dia akhirnya menolehkan kepalanya menatapku—memandangku begitu lama sehingga aku merasa raga dan jiwaku ditembus oleh tatapan matanya. Aku merasa tatapannya melembut sehingga wajahku mulai memerah. Dengan gugup, kubasahi bibirku dan menggigitnya pelan. Hazelku terpaku menatap bola matanya yang sehitam arang. Aku terhisap ke dalamnya.

"Kenapa? Kau suka, eh?" Dia tersenyum dan mengulangi pertanyaannya, "Kau suka?" Tiga kali Tetsu mengulang pertanyaan yang sama seolah ia tak puas sebelum aku menjawab ya. Tentu saja aku menyukainya. Aku pun mengangguk pelan dan bisa kulihat senyum menggoda kini terlengkung di wajahnya. Apa yang terjadi kemudian sungguh tak bisa kupercaya. Tetsu mengangkat tangan kirinya dan membelai wajahku, membuatku menatapnya hangat dan tersenyum tipis. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan senang yang kurasakan.

Tetsu mengamati lekuk wajahku dan tersenyum nakal—mengakhiri gerakan bola matanya di bibirku yang semerah delima. Ia kemudian mendorongku hingga aku terpaksa menyandarkan tubuhku pada dinding kayu di belakangku. Nafasku memburu. Antara takut dan senang—bercampur aduk jadi satu. Aku hanya bisa terdiam dan menatapnya ketika wajah dengan gurat kasar itu mendekat sehingga hidung kami saling bersentuhan. Jantungku berdebar keras ketika bola mata kami saling menatap—aku tersenyum, menyukai apa yang sedang terjadi di antara kami berdua.

Tetsu kembali membelai wajahku untuk kesekian kalinya dan aku bisa merasakan tangan kanannya yang bebas mulai menyentuh tubuhku. Ia mengusapkan telapak tangannya yang besar di perutku—membuatku bergerak mundur karena rasa geli yang tiba-tiba muncul. Kudorong perlahan tangannya dengan tanganku—namun tangannya tetap bersikeras meraba tubuhku. Aku merasa kehilangan tenaga dan berhenti melawan—membiarkan tangannya menyentuhku dan menyelusup meraba punggungku.

Aku menikmati setiap sentuhan tangannya namun aku tak bisa berhenti bertanya, "Tetsu, kau kenapa?"

"Apa yang kau mau?"

Aku ingin dirimu seutuhnya.

"Ciuman?"

Bisa kurasakan wajahku semakin memerah dan ketika aku hendak mengucapkan penolakan, Tetsu membungkamku dengan bibirnya. Untuk kedua kalinya bibir kami bertemu. Mataku terbelalak karena keterkejutan yang kurasakan—tak pernah kuduga seorang Tetsuyama Ikuya bisa melakukan sesuatu seperti yang tengah ia lakukan padaku sekarang. Ia mendominasi diriku, membuatku hanya bisa terdiam dan menikmati setiap permainannya. Tak peduli apapun alasan yang membuatnya seperti itu.

Tubuhku sempat memberontak sesaat namun kembali terdiam. Tetsu tidak melepaskan bibirnya dari bibirku—ia melumat bibirku yang tipis dengan penuh gairah. Bibirnya yang basah dan lembut menghipnotis kesadaranku—aku mulai membalas apa yang ia lakukan. Aku mendengar suara erangan lembut keluar dari bibirku ketika kurasakan tangan Tetsu mulai melancarkan aksinya di tubuhku. Menyentuh tubuhku, membuat tubuhku bergerak-gerak gelisah—aku mendesah pelan. Lupa bahwa kami berdua sedang berada di tempat umum dan mungkin saja ada yang melihat perbuatan kami dari jendela.

Aku tak peduli. Fokusku saat ini hanya Tetsu.

Dengan sangat perlahan, kututup kelopak mataku dan kuangkat kedua tanganku ke atas pundaknya. Jemariku bergerak menyusuri pundaknya, lehernya, telinganya lalu rambutnya. Kuremas pelan rambut di bagian belakang kepalanya, menariknya pelan sehingga bibir kami semakin melekat, saling berpagutan. Kulingkarkan tanganku di lehernya—memeluk tubuhnya. Kunikmati waktu-waktu dimana ia hanya untukku karena jauh di dalam hatiku, aku tahu bahwa hal seperti ini mungkin takkan datang lagi untuk yang kedua kali.

Tetsu pun membalas pelukanku—mendekatkan tubuhnya dengan tubuhku. Hangat—sekaligus mengancam.

"Tetsu?"

Dan detik itu aku tahu, waktu yang diberikan padaku telah usai. Tetsu menatapku terkejut dan ia melepaskan pelukanku—bergerak mundur perlahan menjauhiku dengan mata tetap menatap lurus ke mataku.

"Tetsu?"

Ia ternganga dan semakin menjauhiku. Aku menyadari satu kenyataan pahit. Ia memelukku dan menciumku dengan bayang-bayang kekasihnya di dalam pikirannya. Bukan aku. Seharusnya aku sudah siap menerima kenyataan itu tapi aku tak bisa menyembunyikan perasaan kecewa itu dari mataku.

"Maaf—"

"Kenapa? Kenapa kau meminta maaf?"

Pertanyaan yang telah kuketahui jawabannya.

“Aku—aku kira kau adalah Naoko.”

Aku sudah menduganya. Namun, mendengarnya langsung dari bibir Tetsu rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan. Aku terdiam—berusaha menahan air mata yang sudah mengintip di sudut mataku.

“Maaf”

Aku menggelengkan kepala perlahan, memaksa diriku untuk tersenyum padanya.

“Kau tidak—marah?”

Mana mungkin aku bisa marah padamu?

“Aku—aku tak keberatan, Tetsu.” Aku terdiam sejenak. Hazelku tetap menatapnya lekat, kugigit bibirku agar isak tangis tidak keluar dari bibirku, "Sudah kubilang bukan bahwa aku menyukaimu?” Suaraku mulai bergetar. Kutarik nafas dalam-dalam dan kutegakkan tubuhku. Kurapikan pakaianku dan juga rambutku, “Aku tak keberatan, karena aku benar-benar menyukaimu.”

Kupaksakan diriku sekali lagi untuk tersenyum—pahit.

“Aku—yah, aku tahu bahwa hari ini aku tak hanya melukai perasaanmu seorang…”

Aku mendengarkan. Sekalipun aku tak ingin mengetahuinya. Aku ingin segera pergi dari sana tapi kakiku seolah diikat oleh rantai yang tak terlihat sehingga aku bergeming. Aku malah menatap wajahnya yang mengeras karena kepedihan.

“…Kami—aku dan Nao sudah putus—dan aku tak mengerti letak kesalahanku. Aku tak bisa menciumnya, aku tak berani—“

Putus?

“Kenapa? Kenapa kau tak menciumnya? Lalu kenapa kau berani menciumku?”

Tuhan, bolehkah aku berharap?

Tetsu menggelengkan kepalanya. Membuat harapan yang ada di hatiku meluap-luap.

“Apakah itu berarti selama ini kau tak menyukai Ikeuchi-san?”

Mata Tetsu terbelalak menatapku seolah tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. Apakah pertanyaanku menusuk tepat pada sasaran? Jika benar begitu, apakah yang Tetsu sukai sebenarnya adalah—

“Aku menyukainya—bukannya aku tak mau menciumnya, tetapi semua itu karena aku mau menjaganya.”

Dan harapan itu gugur secepat mekarnya.

“Aku tahu aku salah—tapi bukankah ada cara lain selain berciuman? Maksudku, aku menunjukkan rasa sukaku dengan cara lain, yaitu menjaganya—menjaganya sebagaimana seorang gadis pada umumnya. Aku tak mau membuatnya terlu—”

PLAK!

Untuk kedua kalinya hari itu, aku menampar orang. Dengan alasan yang berbeda. Aku menampar Tetsu karena aku tak ingin mendengar lebih banyak tentang perasaannya pada kekasihnya. Aku tersenyum pahit ketika satu kesadaran mulai terbentuk di otakku.

“Kau tahu? Caramu mencintai itu salah.” Aku diam—memberikan jeda untukku sendiri. Aku memiliki kesempatan untuk merebut Tetsu saat ini dan aku juga memiliki kesempatan untuk membuat hubungan Tetsu dan kekasihnya membaik. Yang mana yang harus kupilih?

Pilihan pertama begitu menggiurkan sementara pilihan yang lain hanya akan membuatku kehilangan Tetsu untuk selamanya. Pilihan pertama akan membahagiakan diriku sendiri sedangkan pilihan kedua akan membahagiakan Tetsu.

Yang mana yang harus kupilih? Kebahagiaanku atau kebahagiaannya?

“Kalau kau terus begitu maka kau akan kehilangan dia—selamanya”

Aku menghela nafas dan bangkit berdiri—pilihan itu telah terputuskan. Aku menginginkan kebahagiaan Tetsu melebihi kebahagiaanku sendiri.

“Kau harus berbuat sesuatu untuk membuatnya yakin bahwa kau menyukainya—seperti yang aku lakukan padamu…”

Satu nasehat yang akan mengubah semuanya. Aku tersenyum tipis pada Tetsu lalu membalikkan badanku—mengucapkan selamat tinggal sekali lagi dalam hati dan aku mulai melangkah meninggalkan sosok yang begitu kucintai. Aku berlari ketika keinginan kuat menggodaku untuk menoleh ke belakang—menatap dia yang takkan pernah menjadi milikku—keluar dari kedai kopi yang mungkin takkan pernah kupijak lagi setelah kejadian ini.

Selamat tinggal, Tetsuyama Ikuya. Hanya ini yang bisa kuberikan sebagai bukti dari cintaku. Berbahagialah, maka rasa perih yang sekarang kurasakan akan terbayar lunas.

Label:


Been Here @ 23.17